Tuesday, June 25, 2019

Artikel Sejarah Pendidikan Islam "PENDIDIKAN KARAKTER PADA MASA ABBASIYAH"




PENDIDIKAN KARAKTER PADA MASA ABBASIYAH
M. Syafiqur Rahman (202 111 5357)
Kelas B

Abstrak
Pendidikan adalah salah satu faktor pendukung kemajuan suatu bangsa. Dengan majunya pendidikan disuatu bangsa maka maju pula bangsa  tersebut. Karena pendidikan yang maju akan menghasilkan tunas-tunas bangsa yang bermutu, yang dapat mengemban amanat untuk melanjutkan kepemimpinan bangsa dengan baik.
Pendidikan karakter merupakan salah satu jalan alternatif untuk mewujudkan majunya suatu bangsa. Pendidikan karakter harus tanamkan kepada anak-anak bangsa yang dimulai sejak usia dini, seperti berperilaku peduli, religius, bertanggungjawab, jujur, dan lain sebagainya.
Dalam peradaban Islam, pendidikankaraktertidaklahtabuuntukdibahas, karena pendidikan karakter tidak melenceng dari ajaran Islam. Semua tujuan atau bentuk pendidikan karakter sangatlah sesuaidengan anjuran Islam, seperti perilaku jujur, bertanggungjawab, religius, peduli dengan sesama, dan lain-lain. Dalam perkembangan pendidikan Islam, pendidikan karakter sudah ada pada pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. serta daulah-daulah yang berkembang pada masanya, seperti daulah Umayyah, daulah Abbasiyah, daulahTurki Utsmani, dan lain-lain.

Pendahuluan
Pendidikan adalah suatu bentuk sadar manusia untuk meneruskan keberlangsungan hidupnya agar sesuai dengan tujuan hidup yang telahditentukannya.Pendidikan seiring dengan perkembangan Islam selalumengalamikemajuan, karena pendidikan dinilai sangat penting untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Pendidikan adalah salah satu cara untuk mewujudkan tujuan atau cita-cita hidup manusia. Oleh karena itu, setiap daulah-daulah Islam dalam mengembangkan daulahnya tidak meninggalkan perhatiannya untuk selalu memajukan pendidikan, selain dibidang lainnya.
Pendidikan Islam sudah berkembang pesat sejak dahulu pada masa Rasulullah masih hidup sampai puncaknya pada masa daulah Abbasiyah, yang ditandai dengan munculnya para cendekiawan muslim dan karya-karyanya pada masa itu, seperti AlFarabi, Al Kindi, IbnuSina, dan ilmuan-ilmuan muslim lainnya. Dari beberapa tokoh pada masa Bani Abbasiyah tersebut, banyak kurikulum, metode, tujuan, pedoman pendidikan yang digunakan yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu.
Pendidikan dimasa Abbasiyah terdapat unsur pendidikan karakter.Hal itu dibuktikan dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan pada masa tersebut, selain pelajaran dibidang bahasa, kedokteran dan bidang lainnya.
Dengan demikian, pendidikan karakter yang adapada masa daulah Abbasiyah akan menjadi pembahasan tulisan ini, yang akan dipadukan dengan pendidikan karakter pada masa sekarang, khususnya di Indonesia yang sekarang masih gencar-gencarnya menyuarakan revolusi mental untuk menuju bangsa yang maju.

Pembahasan
PengertianPendidikanKarakter
Secara filosofis, pendidikan dipandang sebagai proses memanusiakan manusia lewat pembudayaan atau sistem humanisasi. Proses tersebut terwujud dalam mendidik dan dididik. Pendidikan secara alamiah, bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Secara psikologis, pendidikan adalah proses pendewasaan anak muda oleh orang dewasa yang susila. Pendewasaan tersebut terlaksana  dalam bentuk lahir (pertumbuhan fisik) maupun batin (perkembangan mental).
Pendidikan dari masa ke masa dianggap sebagai sesuatu yang sangat ampuh untuk membangun suatu bangsa dengan cara mencerdaskan serta memperbaiki kepribadian masyarakatnya. Oleh karena itu, pendidikan selalu mengalami dinamika perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan kebutuhan bangsa dan zamannya agar tercapai tujuan dan cita-cita bangsanya.
Pendidikan Karakter merupakan suatu konsep dasar yang diterapkan kedalam pemikiran seseorang untuk menjadikan akhlak, jasmani, rohani maupun budi pekerti agar lebih berarti dari sebelumnya sehingga dapat mengurangi krisis moral yang menerpa suatu bangsa. Proses pendidikan karakter ataupun pendidikan akhlak dipandang sebagai usaha sadar dan terencana, bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Atas dasar ini, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga negara secara keseluruhan.
Banyak pendidikan karakter ini disuarakan dengan berbagai media dan cara pendidikan ini tercapai dengan baik dan sesuai sasaran. Karena semakin kesini generasi bangsa moralnya semakin rusak. Banyak penyimpangan yang dilakukanoleh para pemuda, seperti tawuran, narkoba, seks bebas, bolos sekolah, dan perilaku menyimpang lainnya. Selain itu, fenomena saling mengejek antar sesama umat beragama, isu-isu politik pun juga gempar di masyarakat, sehingga menjadi sangat rawan apabila masyarakat terutama pemuda tidak dibekali pengetahuan bagaimana pentingnya berperilaku menghargai antar warganegara.
Dalam pendidikan karakter terdapat enam elemen penting karakter manusia, yaitu antara lain : (Fathul Muin : 2011)
Respect (penghormatan)
Responbility (tanggungjawab)
Citizenship-Civic Duty (kesadaran berwarganegara)
Fairness (keadilan dan kejujuran)
Caring (kepedulian dan kemauan berbagi)
Trustworthiness (kepercayaan)
Enam elemen tersebut adalah landasan dari pengajaran pada pendidikan karakter. Salah satunya adalah nilai kepercayaan.
Agama adalah basis pembentukan dan pengembangan karakter yang utama. Dari agama, manusia dapat mengenal tuhannya, diri sendiri, antar sesamanya, lingkungan yang sehingga dapat menjadikan manusia yang bijak. Dalam Bahasa agama, manusia yang bijak menempati puncak tertinggi piramida tangga keberagamaan.
Agama membentuk dan mengembangkan karakter dengan berbagai metode, yaitu:
Penguatan Akidah
Seorang yang berkarakter pasti mempunyai sifat istiqomah (konsisten), begitu juga konsisten dapat diidentikkan dengan karakter. Inilah yang menjadi langkah pertama yang digunakan agama untuk membentuk karakter, yaitu dengan penguatan akidah. Akidah akan kuat apabila didasari dengan sifat konsisten.
Perbaikan Akhlak
Dalam agama Islam, kemuliaan seseorang dilihat dari ketaqwaannya, sedangkan ketaqwaan diukur dengan akhlak yang dilakukan. Maka dari itu, Islam selalu mengaitkan antara dimensi ketuhanan dengan kemanusiaan. Misalnya, keimanan harus disertai amal salih.
Pembiasaan
Islam menganjurkan umatnya ketika mengerjakan sesuatu harus dimulai dengan membaca basmalah, bahkan pekerjaan yang tidak dimulai dengan basmalah dinilai tidak mengandung kebaikan dan keberkahan. Dalamhal tersebut, terdapat penanaman kebiasaan. Jika hal tersebut dilakukan secara kontinyu maka akan menjadi sebuah karakter.
Integrasi Ajaran
Dalam Islam dilakukan integrasi dimensi antara dimensi ketuhanan dengan dimensi kemanusiaan. Karena Islam mengajarkan umatnya agar hubungan dengan tuhan dan sesamanya selalu berjalan bersamaan, yaitu dibuktikan dengan anjurannya untuk melakukan sholat tanpa meninggalkan zakat.
Pendidikan pada Masa DaulahAbbasiyah
Bani Abbasiyah berdiri setelah Bani Umayyahruntuh, karenamerapuhnya sistem internal dan performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhannya di Damaskus. Maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan bani Abbasiyah. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak daripada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khilafah melalui trage diperang Siffin. Oleh karena itu, untukmendirikandinastiAbbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.
Masa keemasan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M). Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan dengan karya-karyanya. Mulai dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat sampai dengan bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu kedokteran.
Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan.84 Hal itu dapat ditunjukkan melalui antusias mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan banyaknya perpustakaan yang dibuka, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (768-809 M)85 dan puteranya al-Mamun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang berlangsung 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam bagian timur. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi. Al-Mamun pengganti al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Mamun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-Quran dan Hadis. Dalam bidang pendidikan di awal kebangkitan Islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
Maktab/ kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqih, dan bahasa.
Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan biasanya berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan mendatangkan ulama ahli. 
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan berdirinya perpustakaan dan akademik. Kemajuan dalam bidang keilmuan tersebut dikarenakan oleh:
Keterbukaan budaya umat Islam untuk menerima unsur-unsur budaya dan peradaban dari luar, sebagai konsekuensi logis dari perluasan wilayah yang mereka lakukan.
Adanya penghargaan, apresiasi terhadap kegiatan dan prestasi-prestasi keilmuan.
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
Gerakan penterjemahan guna menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Banyak menterjemahkan karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua, masa khalifah al-Mamun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase 87 M. Masyhur Amin, Dinamika Islam, (Yogyakarta: LKPSM, 1995), h. 55. ketiga, setelah tahun 300 H terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidangbidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Perhatian masyarakat sangat tinggi di bidang sastra dan sejarah, dalam periode awal Abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa Persia. Berkembangnya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan memfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusif. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/ kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu. Tradisi intelektual terlihat dari kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau disponsori oleh khalifah. Hasil membaca mereka kemudian didiskusikan dan dikembangkan lagi, mereka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi. Dari sinilah memunculkan ide/ keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi. Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains, matematika, kedokteran, astronomi, dan lain-lain.
Tujuan pendidikan adalah sasaran yang akan dicapai dalam sebuah usaha pendidikan, konsep tujuan pendidikan yang paling sederhana adalah perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupannya yang meliputi aspek individu, sosial dan profesionalisme.
Jadi tujuan pendidikan Islam ditujukan agar manusia dapat mengenali, mengakui dan melaksanakan secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam sistem penciptaan. Tujuan pendidikan pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah tidaklah terlepas dari tujuan pendidikan Islam secara umum, yaitu yang menjadi hakikat tujuan pendidikan Islam, namun pada tingkat turunannya, tujuan pendidikan di tingkat nasional dan institusional dapat dideskipsikan sebagaimana yang ada dalam realitas masa itu dan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tujuan keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal Alquran, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.


Tujuan kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
 Cinta akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri Islam untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
 Tujuan kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.
Secara khusus, madrasah Nizhamiyah memiliki tugas pokok tersendiri yaitu yang sejalan dengan satu atau lebih dari mazhab ahlisunah, dan juga menjadi tempat-tempat menarik pelajar untuk menggunakan waktu mereka sepenuhnya dalam belajar. Madrasah Nizhamiyah telah banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat, baik dibidang politik, ekonomi maupun bidang sosial keagamaan.
Karakter pendidik yang tergambar pada pendidikan ideal yang diinginkan bangsawan Arab bisa kita lihat dari perintah al-Rasyid kepada guru pribadi anaknya, al-Amin:
Jangan bersikap terlampau keras hingga membahayakan pikiran dan tubuhnya, dan jangan terlalu lemah hingga ia bermalas-malasan dan akhirnya tenggelam dalam kemalasan. Bimbinglah sesuai dengan kemampuanmu dengan cara-cara yang baik dan lembut, tetapi jangan ragu untuk bersikap keras dan tegas ketika ia tidak memperhatikan atau mengabaikanmu.
Anak-anak orang kaya memiliki guru privat atau tutor yang datang langsung ke rumah, mengajarkan materi keagamaan, karya sastra yang bagus dan sopan, serta kecakapan menulis syair. Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim tergantung atas dua faktor, yaitu:
Tempat dimana dia mengajar, di Persia, penghormatan kepada guru merupakan suatu tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan ke dalam periode Islam.
Tingkatan dimana ia belajar. (latar belakang pendidikannya). Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
Guru di sekolah dasar disebut muallim, kadang juga faqih, yang secara khusus mengajarkan teologi, biasanya mendapat status sosial yang lebih rendah, kurang dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat pendidikan tampaknya sudah tidak menjadi daya tarik. Sedangkan guru di sekolah yang lebih tinggi mendapatkan kedudukan dan penghormatan yang lebih baik. Memiliki organisasi tertentu dan seorang guru akan memberikan ijazah pada murid yang sukses menempuh pendidikan di bawah bimbingannya.
Para guru biasanya terhimpun dalam sebuah oraganisasi, keberadaannya mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan khalifah, karena ia dengan organisasinya mempunyai power yang dapat mengendalikan kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid.
Gambaran peserta didik dapat dilihat dari segi aktivitas sehari-hari mereka dalam proses mendapatkan ilmu, performance peserta didik masa bani Abbasiyah tersebut antara lain:
Aktivitas belajar langsung dari syekh
Aktivitas berdebat sebagai latihan intelektual
Aktivitas rihlah ilmiah
Aktivitas menerjemah buku dan manuskrip
Aktivitas menulis buku
Sedangkan kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu: Pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghafal Al- Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama. Institusi Kuttab sebagai pendidikan tingkat dasar dengan kurikulum utamanya adalah al-Quran, keterampilan baca tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah para nabi khusunya hadis-hadis nabi Muhammad, dasar-dasar Aritmatika, dan puisi. Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada fase ini, kurikulum dan materi pelajaran adalah dalam rangka mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan. Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum Madrasah Nizhamiyah tidak diketahui dengan jelas. Namun dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari'ah di ajarkan disini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Dari keterangan lain disebutkan bahwa pelajaran di Madrasah Nizhamiyah berpusat pada Alquran (membaca, menghapal, dan menulis), sastra arab sejarah nabi Muhammad SAW dan berhitung dengan menitik beratkan pada mazhab syafi'i dan sistem teologi Asy'ariyah.67 Berdasarkan keterangan di atas, dapatlah diketahui bahwa madrasah
 Nizhamiyah tidak mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat duniawi , tetapi lebih terfokus pada pelajaran ilmu agama terutama ilmu fikih.
Pada masa ini, metode pendidikan/ pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam; lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan berupa dikte imla; metode cerama al-sama; metode qiroah biasanya digunakan untuk belajar membaca. Metode menghafal, merupakan ciri umum masa itu, dimana peserta didik berulang-ulang membaca sehingga ia dapat mengugkapkannya kembali dan mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam diskusi ia bukan dari Alquran, karena diyakini bahwa tindakan menghapus lafal Allah berarti menghina dan merendahkan-Nya. Metode tulisan dianggap metode paling penting, ini berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga bagi penggandaan jumlah buku teks karena belum ada mesin cetak. Di samping metode tersebut, ditemukan juga metode diskusi munaqasah debat/ dialektika. Tongkat kecil dianggap sebagai perangkat pembelajaran penting yang mesti dimiliki seorang pendidik, dan direstui oleh khalifah untuk digunakan pada murid.
Proses pembelajaran untuk pendidikan tingkat tinggi pada masa ini dapat dibidik dari proses pengajaran pada Madrasah Nizamiyah yang berjalan dengan cara para guru berdiri di depan kelas menyajikan materi-materi kuliah (ceramah/talqin), sementara para siswa mendengarkan di atas meja-meja kecil yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi (munaqasyah) antara guru dan para siswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi.
Suatu ketika ibn Jubayr menghadiri suatu perkuliahan yang disampaikan setelah zuhur oleh seorng guru besar penting. Sang guru berdiri di atas mimbar sementara para mahasiswa duduk di hadapannya sambil menyimak, menulis dan mengajukan pertanyaan secara lisan hingga waktu Ashar tiba. setiap dosen memiliki asisten yang bertugas untuk mengulangi materi perkuliahan setelah jam pelajaran usai dan menjelaskannya kepada para pelajar yang kurang tanggap memahami materi.

Nilai Pendidikan Karakter pada Pendidikan Daulah Abbasiyah
Sadar akan pentingnya pendidikan karakter, Harun ar-Rasyid pernah berpesan kepada Ahmar yang ditunjuknya sebagai guru bagi putra mahkotanya Abu Abdullah Muhammad Al-Amin yang kelak menggantikan posisi khalifah sepeninggal Harun ar-Rasyid. Pesan yang ditulis oleh Harun ar-Rasyid ini mengandung konsep-konsep pendidikan karakter yang ingin ia sampaikan kepada Ahmar sang guru agar kelak dalam proses pendidikan putra mahkotanya al-Amin konsep-konsep tersebut menjadi bagian dari aturan yang harus dipenuhi oleh Ahmar. Wasiat yang ditulis oleh Harun ar-Rasyid untuk guru putra mahkotanya ini mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang luar biasa yang menjadi perhatian sang Amirul Muminin. Bahkan nilai-nilai pendidikan karakter ini tetap relevan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan modern saat ini. Berikut ini rincian dari pendidikan karakter yang terdapat dalam wasiat Harun ar-Rasyid kepada Ahmar, guru spriritual terpilih yang dipercaya untuk menyiapkan karakter putra mahkota yang kelak akan menjadi penerus estafet khilafah Bani Abbas. 
Dalam konteks pendidikan karakter, kesiapan moral seorang guru menjadi hal yang sangat diperhatikan, karena guru adalah panutan bagi para peserta didik. Rasulullah saw merupakan seorang guru teladan yang patut dicontoh oleh semua guru. Beliau selalu memberi contoh sebelum meminta seseorang untuk melakukan sesuatu. Akan sulit kiranya bagi seorang guru untuk mengajarkan tentang nilai dan akhlaq sementara dia sendiri belum bisa mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam dirinya sendiri. Maka ajaran untuk memulai kebaikan dari diri sendiri merupakan konsep yang luar biasa dan mencerminkan pendidikan yang futuristik, ada beberapa karakter utama yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, karakter tersebut adalah:
Komitmen
Kompeten 
Kerja keras
Konsisten
Sederhana
Kemampuan Berinteraksi
Melayani Secara Maksimal
Cerdas
Menghargai waktu
Tidak dengan kekerasan
Sabar
Kerendahan hati
Dari sikap-sikap tersebut diatas, pendidikan pada masa bani Abbasiyah mengalami perkembangan dengan baik. Selain itu, pendidikan karakter yang diterapkan tidak hanya di sekolah atau madrasah saja, akan tetapi di rumah juga orang tua berperan mendidik anaknya dengan sikap-sikap diatas, baik bapak, ibu, dan anggota keluarga yang lain yang selalu peduli dengan sesamanya.




Penutup
Kesimpulan
Pendidikan adalah hal yang sangat penting yang harus diberikan kepada masyarakat bangsa demi majunya bangsa tersebut. Pendidikan karakter salah satu dari upaya untuk memajukan bangsa tersebut, karena pendidikan karakter mencakup beberapa aspek yang sangat mendukung, seperti kajian moral, emosional, religiusitas, nasionalisme, dan sikap-sikap positif lain yang mendukung majunya suatu bangsa.
Alasan Bani Abbasiyah menerapkan pendidikan karakter pada perkembangan pendidikan dimasanya adalah untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan wilayahnya. Pada saat itu, untuk memperjuangkan kekuasaan ditempuh dengan perang. Maka dari itu, pendidikan diterapkan untuk menanamkan jiwa nasionalisme serta kepedulian sosial tanpa mengakhirkan sifat religiusitas. Dengan demikian, nilai-nilai kehidupan, tujuan serta cita-cita kehidupan tercapai, baik segi duniawi maupun ukhrawinya.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Majid, dkk. 2011. Character Building Through Education. Pekalongan : STAIN Pekalongan Press
Barnawi & M. Arifin. 2013. Strategi & Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Dudung Abdurrahman, dkk. 2003. Sejarah Peradaban Islam : Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta : LESFI
K. Hitti, Philip. History of the Arabs
Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Kusuma A., Doni.2007. Pendidikan Karakter. Jakarta : Grasindo
Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Sherli Mahroes, 2015, Kebangkitan pendidikan Bani Abbasiyah Pesrspektif Sejarah Peradaban Islam. Vol ke 1 No. 1 (Bandung) hlm. 100
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Yunus, Mamud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung
Zubaedi. 2011.Desain Pendidikan Karakter :Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, cet. Ke-. Jakarta: Kharisma Putra Utama
Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Depag.

No comments:

Post a Comment