Wednesday, June 26, 2019

Artikel Sejarah Pendidikan Islam "KEBERAGAMAN NUANSA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (PEMIKIRAN TOKOH MODERNIS DAN TRADISIONALIS)"

KEBERAGAMAN NUANSA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (PEMIKIRAN TOKOH MODERNIS DAN TRADISIONALIS)

Muhammad Arif Maulana
2021115167, Sejarah Pendidikan Islam, Kelas B, Pendidikan Agama Islam

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari tentang reformasi pendidikan Islam serta korelasi mereka dengan sistem pendidikan saat ini. Menunjukkan bahwa konsep reformasi pendidikan Islam dari KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari serupa, yaitu: tujuan Pendidikan Islam adalah untuk membentuk insan kāmil, materi pendidikan dalam Islam adalah sebuah materi integral antara agama dan sains, metode pendidikan bervariasi, dan pengembangan institusi pendidikan dalam bentuk SMA Islam Sekolah. Perbedaan konsep reformasi pendidikan Islam antara keduanya adalah arah dan orientasi pendidikan. Untuk KH. Ahmad Dahlan, tujuannya pendidikan Islam mengarah pada peningkatan kehidupan ekonomi dan politik, dan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui modernisme dalam pendidikan. Untuk KH. Hasyim Ash’ari, tujuannya pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas moral rakyat melalui pemeliharaan budaya Islam tradisionalis, dengan menggunakan buku-buku klasik sebagai bahan penting untuk dipelajari dalam mengembangkan pengetahuan agama.

Kata Kunci : Pendidikan Islam, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy;ari.

Pendahuluan
Gencarnya suara pembaruan pemikiran Islam yang dicanangkan oleh para pembaru muslim dari berbagai negara seperti Mesir, India, Turki, Pakistan sampai juga gaung pembaruan itu ke Indonesia yang menyadarkan umat Islam dari era kemunduran yang dialami. Salah satu dampak dari “suara pembaruan” itu adalah munculnya pembaruan di bidang pendidikan. Lebih lanjut di awal abad ke dua puluh, muncullah ideide pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, ide ini muncul disebabkan sudah mulai banyak orang yang tidak puas dengan sistem pendidikan yang berlaku saat itu, oleh karena ada sisi yang perlu diperbarui. Sisi yang perlu diperbarui itu, pertama dari segi isi (materi), kedua dari segi metode, ketiga dari segi manajemen dan administrasi pendidikan.
Dari segi isi (materi) yang disampaikan sudah ada keinginan untuk memasukkan materi pengetahuan umum ke dalam isi pengajaran Islam masa itu. Dari segi metode tidak lagi hanya menggunakan metode, sorogan, wetonan, bandongan, hafalan, tetapi diinginkan adanya metodemetode baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.1 Selanjutnya keinginan untuk mengelola lembaga pendidikan Islam, telah muncul dengan diterapkannya sistem klasikal dan pemberlakuan administrasi pendidikan.
Pembaruan-pembaruan yang muncul ini merupakan awalkebangkitan global Islam di Indonesia menuju pembaruan yang lebih baik termasuk dalam bidang pendidikan.2 Pemikiran-pemikiran inspiratif dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam pada masa itu sepertiPembaruan-pembaruan yang muncul ini merupakan awal kebangkitan global Islam di Indonesia menuju pembaruan yang lebih baik termasuk dalam bidang pendidikan. Pemikiran-pemikiran inspiratif dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam pada masa itu seperti Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Rifa’ al-Thathawi, Sayyid Ahmad Khan dan lain sebagainya memberi pengaruh besar bagi pola pikir tokoh-tokoh Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan. Pembaruan yang dilakukan adalah upaya untuk meninggalkan pola pemikiran lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan juga merupakan upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Semangat pembaruan mengakibatkan perpecahan umat Islam di Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu modernis dan tradisionalis. Kelompok pertama dengan tokohnya H.O.S (Haji Oemar Said) Cokroaminoto (1882-1934), pemimpin besar Syarikat Islam (SI), KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, dan Ahmad Hasan (1887-1958), pendiri Persatuan Islam (Persis), berusaha meremajakan Islam agar dapat menyerap kemajuan Barat melalui sains ke dalam pengajaran serta mencoba memurnikan ajaran Islam dengan meningkatkan kesadaran beragama bagi pemeluknya. Gerakan ini dianggap membahayakan bagi kalangan Muslim tradisionalis yang memilih corak madzhab Islam yang terdapat di Jawa. Kelompok kedua dengan tokohnya KH.Hasyim Asy’ari (1871-1947) berusaha meningkatkan peran Islam dan pemikiran Islam dengan tetap berpegang pada ajaran empat madzhab.
Berdasarkan ide pembaharuan yang di sampaikan oleh dua tokoh pemikir besar KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy;ari yang merambah dunia pendidikan. Karena sebab – sebab tertentu mereka berdua memang memiliki karakteristik dan cara pandang yang berbeda, akan tetapi perbedaan itu “seharusnya” tidak lantas menimbulkan permusuhan. Penulis mengangkat tema keberagaman nuansa pendidikan Islam di Indonesia ( pemikiran tokoh modernis dan tradisionalis ), walaupun keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda akan tetapi terdapat kesamaan tujuan yaitu memajukan umat Islam Indonesia.
Dua corak pemikiran yang berbeda di era yang sama dalam masa transisi kebangkitan Islam di Indonesia ini, memberi ketertarikan penulis untuk melakukan studi kritis komparatif dengan mencari perbedaan dan persamaan pemikiran dua tokoh antara KH.Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh besar dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia untuk dikaji dan dianalisa lebih mendalam. 
Pembahasan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
Pembaruan secara etimologis berarti “proses, perbuatan, cara memperbarui.” Dalam bahasa Arab disebut dengan tajdīd. Pembaruan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya sebagai aksi untuk menggugah kesadaran dalam rangka membentuk citra diri melalui pola tertentu akibat timbulnya tantangan yang kompleks pada zamannya. Gerakan tajdīd sering disebut dengan reformasi karena bertujuan membentuk kembali citra diri melalui penataan kembali masyarakat, karena tidak sesuai dengan zamannya.
Pembaruan dalam Islam dilakukan pada hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah yang melingkupi kehidupan muslim, bukan yang terkait dengan dasar atau ajaran Islam yang fundamental. Pembaruan tidak dilakukan pada al-Qur’an dan Hadith itu sendiri, tetapi penafsiranpenafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dan Hadits itulah yang diperbarui, sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan zaman.
Pemikiran Modernis (Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan)
Kegelisahan tokoh pendidikan KH. Ahmad Dahlan merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan mereka terhadap kondisi bangsa Indonesia yang terjajah. Mardanas Safwan mengutip yang diungkapkan Haji Fahruddin, seorang murid KH.Ahmad Dahlan bahwa umat Islam pada awal abad ke 20 tidak maju dan mengalami kemandegan. Tidak terdapat sinar kebesaran dan kecemerlangan dalam masyarakat pemeluk agama Islam di Indonesia pada waktu itu. Kehidupan umat Islam serba susah, ekonomi tidak maju, pendidikan terbelakang dan kehidupan sosial budaya tidak membesarkan hati. KH.Ahmad Dahlan terpanggil untuk turut memikirkan dan memperbaiki keadaan terpuruk umat Islam Indonesia. Usaha KH.Ahmad Dahlan terealisasikan dengan berdirinya Organisasi Muhammadiyah.
Pribadi KH.Ahmad Dahlan identik dengan gerakan dan perjuangan. Ia adalah potret seorang pejuang dan pahlawan. Kepahlawananya bukan dalam sosok prajurit yang memanggul senjata dan gugur dalam medan perang, tetapi dalam sosok kemanusiaan: ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan kemaslahatan pendidikan, dakwah dan sosial keagamaan dalam wawasan kebangsaan yang kental dan integral. Pemikiran-pemikiran pembaruan pendidian Islam KH.Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Islam Perspektif KH. Ahmad Dahlan
Pemikiran KH.Ahmad Dahlan merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Masa di bawah kolonial Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi, sosial dan politik karena tidak memiliki akses kepada sektorsektor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta. Kondisi yang demikian itu menjadi perhatian KH.Ahmad Dahlan dengan berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam. Berangkat dari kondisi ini, maka menurut KH.Ahmad Dahlan, pendidikan Islam bertujuan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalīfah fī al-ard. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurut KH.Ahmad Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran al-Quran dan Hadits. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan al-Qur’an dan Hadits, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Materi Pendidikan Islam Perspektif KH. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif. Dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya. Materi pendidikan KH.Ahmad Dahlan adalah al-Qur’an dan Hadith, membaca, menulis, berhitung menggambar. Materi al-Qur’an dan Hadith meliputi: ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur’an dan Hadith menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berfikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya dan akhlak.
KH.Ahmad Dahlan kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Sekolah-sekolah yang didirikan KH.Ahmad Dahlan cenderung menyesuaikan dengan sistem pendidikan kolonial sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan. Atas dasar itu, KH.Ahmad Dahlan pada tahun 1911 mendirikan “Sekolah Muhammadiyyah” yang menempati sebuah ruangan dengan meja dan papan tulis. Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah-sekolah model barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat dan sebagainya.
Di samping itu, KH.Ahmad Dahlan menggagas pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur’an dan Hadith, bukan semata-mata pada kitab tertentu. Upaya mengaktualisasikan itu bukan hal yang mudah, hal ini didasarkan seting lembaga-lembaga pendidikan tradisional saat itu terbatas pada dimensi religius yang membatasi pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya pada Madzhab Syafi’i. Idiologi ilmiah semacam ini digunakan sebagai pelindung oleh kelompok tradisional guna mempertahankan semantik statis terhadap epistemologi yang telah dikembangkan. Sikap demikian hanya akan melahirkan pemikir “pemamah” yang tak mampu mengolah secara kritis ilmu pengetahuan yang diperolehnya, sehingga mereka kurang bisa berkompetisi secara produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Dari sini tampak sekali langkahlangkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, dengan merintis lembaga pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Gagasan pendidikan yang dipelopori KH. Ahmad Dahlan, merupakan perubahan dan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek nilai-nilai agama dan pengetahuan umum, iman dan kemajuan teknologi, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya.
Metode Pembelajaran Perspektif KH. Ahmad Dahlan
KH.Ahmad Dahlan mencermati pembelajaran yang selama ini berlangsung di lembaga-lembaga Islam masih stagnan, tradisional yang menyebabkan lamanya materi tertentu dipahami siswa. Usaha KH. Ahmad Dahlan dalam melakukan perombakan dalam metode pembelajaran adalah menggunakan metode klasikal atau kelas sebagaimana sudah diterapkan dalam sekolah gubernemen. Bagi KH. Ahmad Dahlan, pemahaman materi agama Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Ia mengajarkan kitab suci al-Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan al-Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan al-Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Lebih lanjut, untuk pendalaman materi agama, KH. Ahmad Dahlan selalu melakukan tabligh, yaitu da’wah dengan memberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan masalah agama. Tabligh ini dilaksanakan secara teratur sekali seminggu atau secara berkala oleh para mubaligh yang berkeliling.
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Perspektif KH.Ahmad Dahlan
Salah satu ciri gerakan yang bernuansa Islam baru dapat disebut ”modern” manakala gerakan keagamaan tersebut menggunakan metode “organisasi”. Berdasarkan parameter tersebut, Muhammadiyah yang sejak awal menggunakan metode “organisasi” dengan sendirinya disebut sebagai sebuah gerakan keagamaan Islam yang modern. Muhammadiyah mencurahkan usahanya di bidang pendidikan dan amal-amal sosial, dengan penekanan pada pemurnian agama Islam pada bentuknya yang asli dengan menghilangkan beban “kultural” praktik-praktik keagamaan.
Menurut KH. Ahmad Dahlan lembaga pendidikan Islam harus dikelola sebaik mungkin, KH. Ahmad Dahlan lantas membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kyai sebagai pemimpinnya meninggal dunia. 
KH. Ahmad Dahlan sebagai manajer tidak bosan-bosan memberi motivasi agar para anggota Muhammadiyah terus berjuang dan memiliki etos kerja yang tinggi sehingga organisasi Muhammadiyah akan eksis sepanjang masa yang diharapkan mampu membawa pada kemajuan pada seluruh masyarakat Indonesia. KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang pelopor sekaligus pemimpin Muhammadiyah mengelola organisasi Muhammadiyah sehingga menjadi organisasi yang berlevel nasional. Berawal gerakannya hanya sebatas di Yogyakarta gerakan ini terus meluas hingga ke seluruh Nusantara. Hal ini dikarenakan kerja keras dan tekad KH. Ahmad Dahlan yang besar untuk menyebarkan ide-ide Muhammadiyah. Demi merealisasikan tujuan organisasinya, KH. Ahmad Dahlan membentuk kader organisasi dan guru-guru agama dengan mendirikan Pondok Muhammadiyah.
Jadi secara kelembagaan pendidikan Muhammadiyah mendirikan dua macam sekolah, yakni mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ilmu-ilmu keagamaan ke dalamnya dan madrasah-madrasah yang juga diberikan pelajaran umum di dalamnya.
Pengelolaan lembaga pendidikan Muhammadiyah menurut KH. Ahmad Dahlan adalah mengambil jalan tengah, yaitu menerima sistem gubernemen tapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keislaman yang berlaku.
Pemikiran Tradisionalis (Pemikiran Pendidikan Islam KH. Hasyim Asy’ari)
Pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari sangat dipengaruhi dengan keahlianya dalam bidang Hadits,Fiqih dan Tasawuf. Pemikiran pendidikannya juga didorong oleh situasi pendidikan yang terjadi pada saat itu, dari kebiasaan lama yang sudah mapan ke dalam bentuk modern akibat pengaruh sistem pendidikan Barat yang diterapkan Hindia Belanda di Indonesia. Didukung dengan KH. Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, menuntut ilmu dan berkecimpung langsung di dalamnya, serta interaksinya saat menuntut ilmu di pesantren-pesantren Jawa dan dengan para ulama di Mekah. Atas dasar pengalamannya, hal ini sangat memengaruhi pola pikir dalam konsep pendidikan Islam yang di antaranya akan dibahas sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Islam Persepektif KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asyari menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan dan belajar adalah mengamalkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak dan merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah.
KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam di samping pemahaman terhadap pengetahuan adalah pembentukan insān Islām kāmil yang penuh pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Tujuan pendidikan ini akan mampu direalisasikan jika siswa mampu terlebih dahulu mendekatkan diri pada Allah SWT dan ketika proses dalam pendidikan berlangsung, dalam diri siswa harus steril dari unsur materialisme, kekayaan, jabatan dan popularitas. Dari sini tampak KH. Hasyim Asy’ari mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Dengan mengedepankan nilai-nilai tersebut, harapannya semua manusia yang dalam melaksanakan dan ikut dalam proses pendidikan selalu menjadi insan purna yang bertujuan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Di samping itu dalam Islam, tujuan pendidikan Islam yang dikembangkan adalah mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan. Pemahaman ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan terhadap pendidikan jasmani, akal, dan ilmu pengetahuan (science). Pendidikan Islam memperhatikan segi pendidikan akhlak seperti memperhatikan segisegi lainnya.
Materi Pendidikan Islam Perspektif KH.Hasyim Asy’ari
Menurut KH. Hasyim Asy’ari materi yang ditawarkan adalah materi-materi yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT yang terangkum dalam ilmu fardu ‘ain. 
Menurutnya materi yang ditawarkan adalah materi-materi yang dapat mendekatkan diri kepada Allah yang terangkum dalam ilmu fardu ‘ain.. yaitu kajian tentang teologi (zat dan sifat-sifat Allah), fiqih, (mengenal syarat dan rukun, mengenal halal haram, yang dapat mengesahkan suatu ibadah) dan tasawuf, (yang berorintasi pada ketenangan hati).”
Menurutnya materi yang didahulukan adalah mengkaji tentang tafsir al-Quran, Hadith, usuluddin, kitab-kitab fiqih madzhab, nahwu, sorof, dan materi yang membahas tentang tasawuf.
Menurut Rifa’i, KH. Hasyim Asy’ari membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan yang tercela dan dilarang. Artinya, ilmu pengetahuan yang tidak diharapkan kegunaannya, baik di dunia dan di akhirat, seperti: ilmu sihir, nujum, ramalan nasib. 
b. Ilmu pengetahuan yang dalam keadaan tertentu menjadi terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela. Artinya ilmu yang sekiranya didalami akan menimbulkan kekacauan pikiran, sehingga dikhawatirkan menimbulkan kufur. Misalnya, ilmu kepercayaan dan kebatinan, ilmu filsafat. 
c. Ilmu pengetahuan yang terpuji, yakni ilmu pelajaranpelajaran agama dan berbagai macam ibadah. Ilmu tersebut dapat menyucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatanperbuatan tercela, membantu mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, mendekatkan diri kepada Allah SWT, mencari rido-Nya dan mempersiapkan dunia untuk kepentingan akhirat.
Pada tahun 1916 KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Madrasah Salafiyah. Madrasah Salafiyah adalah madrasah dengan sistem klasikal yang didirikan di Tebuireng untuk pengajian al-Qur’an. Pada tahun 1926 Madrasah Salafiyah diawasi dan dipimpin KH. Muhammad Ilyas murid dari KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Dengan keterbukaan KH. Hasyim Asy’ari akan pembaruan, memberi keleluasaan kepada KH. Muhammad Ilyas untuk memperkenalkan mata pelajaran umum di pesantren, seperti membaca, menulis latin, ilmu bumi, sejarah, bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Semenjak itu surat kabar berbahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.
Metode Pembelajaran Perspektif KH.Hasyim Asy’ari
Metode pembelajaran KH. Hasyim Asy’ari menggunakan berbagai macam metode  yandisesuaikan dengan kondisi siswa, guru dan materi yang disampaikan. Di antaranya adalah metode hafalan, metode ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab dan metode Tahdzīb wa targhīb. Metode hafalan dengan mentashih terlebih dahulu di hadapan pendidik atau temannya yang diyakini kepintarannya.
Metode ceramah menjadi perhatian KH. Hasyim Asy’ari dengan  ketentuan sebagai berikut:
Menghindari penjelasan yang terlalu panjang sehingga membosankan, sebaliknya juga tidak terlalu ringkas sehingga substansi dari materi tidak tersampaikan.
Tidak terlalu tergesa-gesa dalam menjelaskan sehingga penjelasannya dapat disimak dan dipikirkan oleh siswa.
Apabila materi yang disampaikan lebih dari satu pembahasan, dimulai dengan materi-materi yang penting.
Selain itu juga ia juga banyak meggunakan metode diskusi, Tahdzīb wa targhīb.  (menasihati dan menegur) dengan baik terhadap anak didik yang bandel, metode tanya jawab.
KH. Hasyim Asy’ari membangun suasana dialogis dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian, KH. Hasyim Asy’ari menggarisbawahi hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pelajar, yaitu moralitas dan etika dalam menghormati serta menghargai seorang ulama. Apalagi di lingkungan pesantren yang mempunyai gaya tersendiri dalam mendidik para santri. Kyai adalah simbol dari moralitas, yang kedudukannya lebih dari sekadar ulama. Sebab, kyai dianggap tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mengajarkan moralitas. Di sinilah kenapa para santri di pesantren sangat menghargai seorang kyai. 
Pesantren Tebuireng di awal kelahirannya, mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara sorogan dan bandongan dengan bahasa pego sebagai bahasa pengantar, sebagaimana yang diterapkan di Pesantren Gedang. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan melalui jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Seiring perkembangan waktu sistem dan metode pengajaran ditambah dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Jumlah santri yang masuk kelas musyawarah sangat kecil karena seleksinya ketat. Saat itu KH. Hasyim Asy’ari dibantu saudaranya ipar, Kyai Alwi.
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Perspektif KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari memainkan peranan penting dalam memodernisasi Pesantren Tebuireng, hal ini karena kepiawian KH. Hasyim Asy’ari dalam mengelola lembaga pendidikan yang dipimpin. Manajemen lembaga pendidikan Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari haruslah dikelola dengan memperhatikan perkembangan zaman agar lembaga pendidikan dapat menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul.
Ide pembentukan kelas musyawarah sebagaimana yang telah disinggung di atas, merupakan inisiatif KH. Hasyim Asy’ari untuk menutupi kelemahan sistem salaf dalam meningkatkan mutu pesantren.
Sebagaimana diketahui, dalam sistem salaf murni, para santri bebas mengikuti pelajaran dan memilih tingkatan, bahkan bebas pula untuk tidak belajar. Akibatnya, banyak santri yang bertahun-tahun mondok tapi tidak mendapat apa-apa. Sebaliknya, ada santri yang mondok tidak terlalu lama sudah berhasil menjadi kyai karena kesungguhannya dalam belajar. Karena tidak ada faktor yang mengikat dan memotivasi santri, maka KH. Hasyim Asy’ari menyiasati dengan membentuk kelas musyawarah. Hasilnya terbukti efektif, banyak ulama besar yang lahir dari kelas ini di antaranya: Kyai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kyai Abdul Karim (Lirboyo), Kyai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kyai Wahab Hasbullah (Tambakberas), Kyai Bisri Syamsuri (Denanyar), Kyai Bisri Musthofa (Rembang) dan lain-lain.
Pada tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal melalui madrasah. Kepala Madrasah pertama adalah Kyai Ma’shum Ali, menantu KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai pakar ilmu falak dan ilmu s}orof, di antara karyanya adalah al-Durus al-Falākiyah (astronomi), al-amthilatul tas}rīfiyyah (sorof). Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah ini membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifr awal dan sifr thani yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Siswa s}ifr awal dan s} ifr thani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi madrsah lima tahun berikutnya. Kegiatan belajar diadakan di Pondok Pesantren Seblak yang diasuh Kyai Ma’shum Ali.
Jenjang selanjutnya adalah Madrasah Ibtidaiyyah empat tahun, dimulai dari kelas satu sampai kelas empat yang diselenggarakan di Tebuierng. Pelajarannya ditekankan pada penguasaaan kitab-kitab klasik seperti kitab Fath} al-Qarīb (fiqh), serta hafalan nadzam (sajak berbahasa Arab) seperti Alfiyyah Ibnu Malik (nahwu /gramatika Arab). Pada tahun 1919 pelajaran di Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah ditambah dengan Bahasa Indonesia, Matematika dan Geografi yang direstui KH. Hasyim Asy’ari. Terobosan ini menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai pelopor pembaruan pendidikan Islam tradisional di tanah air.
Di era selanjutnya, inovasi lembaga pendidikan yang dilakukan oleh KH. Muhammad Ilyas dan KH Abdul Wahid Hasyim semakin berkembang terbukti dengan didirikannya Madrasah Nidzamiyyah tahun 1934, yang lebih banyak mengajarkan pengetahuan umum dari pada pengetahuan agama. Selain mengajarkan bahasa Arab dan bahasa Belanda, Madrasah Nidzamiyyah juga mengajarkan bahasa Inggris dan ketrampilan mengetik. Satu hal yang perlu dicatat, pesatnya perkembangan Tebuireng yang diprakarsai oleh duet KH. Muhammad Ilyas dan KH. Abdul Wahid Hasyim, samasekali tidak memengaruhi sistem pengajian kitab klasik dan musyawarah yang diasuh langsung KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini karena segmen muridnya memang berbeda. Jika madrasah kebanyakan anak usia sekolah, maka peserta kelas musyawarah dan pengajian adalaha para santri senior atau bahkan kyai yang sengaja datang ke Tebuireng untuk mengaji, bukan sekolah.
KH. Hasyim Asy’ari juga mengajarkan para santrinya dengan kemampuan khusus dalam bidang manajemen dan organisasi. Hal ini dilakukan untuk mendorong mereka untuk membentuk organisasi santri berdasarkan asal daerah mereka. Para santri juga diperbolehkan untuk aktif dalam organisasi-organisasi berskala Nasional yang mempunyai cabang di Tebuireng. Hal ini merupakan ajang latihan bagi para santri untuk menjadi pemimpin di masa depan. Terbukti sebagian lulusan pesantren Tebuireng berkecimpung dalam organisasi modern.



Komparasi Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari
Lebih rinci, perbedaan pemikiran pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam berbagai dimensi dapat dilihat dalam tabel berikut:
No.
Dimensi pendidikan Islam
Pemikiran Perspektif KH. Ahmad Dahlan
Pemikiran Perspektif KH. Hasyim Asy’ari

1
Tujuan pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam KH.Ahmad Dahlan cenderung pada kontek pendidikan sebagai media mengejar ketertinggalan Islam dalam bidang ekonomi, social dan politik dengan berorientasi pada pendidikan modern
• Konsep tujuan pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan sesuai dengan aliran filsafat pendidikan progressivisme- rekonstruksi

• Tujuan pendidikan Islam KH.Hasyim Asy’ari lebih bersifat metafisik, dan lebih ditekankan pada usaha membimbing kearah pembentukan kepribadian muslim
• Tujuan pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari sesuai dengan aliran filsafat pendidikan essensialisme- perennialisme.


2 Materi pendidikan Islam
KH.Ahmad Dahlan menjadikan al-Qur’an dan Hadith sebagai sumber untuk menelaah
keilmuan secara langsung, dan mengkritik materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab klasik.

KH. Hasyim Asy’ari tetap mempertahankan materi-materi keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab klasik


3 Metode Pendidikan Islam
KH. Ahmad Dahlan menganggap metode tradisional yang dipakai pesantren dalam penguasaan suatu kitab klasik dianggap tidak efisien dan efektif karena membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan pemikir yang tidak kritis sehingga metode tradisional ini tidak perlu dikembangkan.
KH. Hasyim Asy’ari tetap menerapkan metode sorogan dan bandongan dalam kelas Musyawarah. Hal ini didasarkan pada keinginan KH. Hasyim Asy’ari untuk menjunjung moralitas dan melestarikan tradisi-tradisi lama dengan tidak gagap pada pembaruan yang muncul.


4 Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
1.KH. Ahmad Dahlan, pengembangan madrasah berada di bawah pengelolaan organisasi Muhammadiyah. Madrasah sebagai garapan amal usaha pendidikan Muhammadiyah
2.Kepemimpinan lembaga berdasarkan pemilihan organisasi.

1.KH. Hasyim Asy’ari, pengembangan madrasah di bawah pengembangan manejemen pesantren yang inovatif sebagai jawaban bagi tantangan zaman yang dihadapi
2 Lembaga dipimpin orang yang berkompeten dengan memperhatikan aspek keturunan




Relevansi Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Pendidikan Islam Kekinian
Dalam menyikapi isu globalisasi, umat Islam terbagi ke dalam tiga kelompok; yaitu yang menerima secara mutlak, menolak sama sekali dan pertengahan, yakni yang menyikapi secara proposional. Perbedaan sikap ini berimplikasi terhadap respon dalam mensikapi model pendidikan di Nusantara. Pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dalam menghadapi globalisasi dunia, melalui pendidikan baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, dengan berbagai metode, cara dan geraknya dapat dicegah pengaruh negatif yang bakal terjadi dari globalisasi. 
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akanpendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya. Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan muslim tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun, pada umumnya bebannya masih sangat terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoretis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberasi, dan humanisasi.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jika umat Islam memiliki karakter mulia, Indonesia telah berhasil membangun karakter bangsanya. Sebaliknya, jika umat Islam Indonesia hanya bangga dalam hal kuantitas tetapi tidak memperhatikan kualitasnya (terutama karakternya), Indonesia telah gagal membangun karakter bangsanya. Konsep character building sudah menjadi kajian tujuan pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari untuk mencapai tujuan Insān kāmil sebagai ‘abd dan khalīfah fī al-ard. Konsep yang telah ada menjadi penting untuk digali dan dikonstruksiasi sebagai dasar dalam rangka membangun karakter bangsa.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari memberi sumbangan besar bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia. Terlepas dari faktorfaktor yang menghambat perkembangan madrasah di Indonesia, Husni Rahim menyimpulkan bahwa madrasah mempunyai peran besar dalam memperkukuh etika dan moral bangsa, di antaranya: Media sosialisasi nilai-nilai ajaran agama, pemeliharaan tradisi keagamaan, membentuk akhlak dan kepribadian, benteng moralitas bangsa dan sebagai lembaga pendidikan alternatif.72 Dalam kaitannya dengan
Dalam kaitannya dengan inovasi pendidikan, maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pada masanya, dengan melakukan upaya-upaya yang dianggap janggal untuk saat itu merupakan sebuah inovasi yang brilian. Di saat lembagalembaga pendidikan di Indonesia berhaluan sekuler, KH. Ahmad Dahlan membuat lembaga madrasah yang mengintegrasikan antara ilmu profan dan ilmu agama. Di saat pesantren hanya memakai metode sorogan dan bandongan, KH. Hasyim Asy’ari memunculkan ide kelas musyawarah dari majlis halaqah menjadi kelas-kelas sebagaimana kelas gubernemen. Maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari merupakan sebuah upaya pembaruan dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan situasi pada masa-masa berikutnya.
Simpulan
Tujuan pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan, di antaranya adalah sebagai berikut: a). Pendidikan Islam diharapkan mampu mencetak manusia-manusia (insan) yang memiliki kapasitas keahlian sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. b). Pendidikan Islam diharapkan berorientasi kepada kebutuhan masa depan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai keagamaan atau nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh Islam agar mendapatkan kebahagian dunia akhirat. c). Pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran kembali bahwa segala sesuatu akan kembali pada sang pencipta.
Adapun perbedaan. tujuan pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari bila dilihat dari kacamata aliran filsafat pendidikan, tujuan pendidikan KH. Ahmad Dahlan dapat dikategorikan sebagai aliran progressivisme-rekonstruksi sosial, sedangkan tujuan pendidikan KH. Hasyim Asy’ari merupakan tujuan pendidikan dalam kategori essensialisme-perennialisme.
Persamaan materi pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut; a). Ilmu agama adalah ilmu yang wajib dipelajari tiap Muslim. b). Ilmu profan merupakan ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai upaya untuk membekali diri terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. c). Mengintegrasikan aspek nilai-nilai agama dan pengetahuan umum, iman dan kemajuan teknologi, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya.
Adapun perbedaan materi pendidikan Islam adalah: KH. Ahmad Dahlan menjadikan al-Qur’an dan Hadith sebagai sumber untuk menelaah keilmuan secara langsung dan mengkritik materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Menurut KH. Ahmad Dahlan pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya pada madzhab Syafi’imelahirkan pemikir yang “pemamah” yang tak mampu mengolah secara kritis ilmu pengetahuan yang diperolehnya, sehingga mereka kurang bisa berkompetisi secara produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari, menurutnya kitab-kitab klasik yang merupakan karya para mujtahid terdahulu dianggap masih perlu dikaji dan ditelaah sebagai bahan referensi dan pengayaan materi. 
Persamaan konsep metode pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dapat disimpulkan adalah keduanya menggunakan metode yang bervariasi dalam proses pembelajaran yang disesuaikan dengan materi dan kondisi siswa. Adapun perbedaannya, KH. Ahmad Dahlan menganggap metode tradisional yang dipakai pesantren dalam penguasaan suatu kitab klasik dianggap tidak efisien dan efektif karena membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan pemikir yang tidak kritis sehingga metode tradisional ini tidak perlu dikembangkan. Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari, walaupun ia menggunakan metode yang bervariasi dengan menerapakan sistem klasikal di madrasah yang didirikannya di Pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari tetap mempertahankan metode sorogan dan bandongan dalam kelas Musyawarah.


Daftar Pustaka
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun
Nasution. Bandung: Mizan, 1995.
Taufiq, Akhmad. M Dimyati Huda. Binti Maunah. Sejarah Pemikiran dan
Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Safwan, Mardanas. Sutrisno Kutoyo. KH. Akhmad Dahlan, Riwayat Hidup
dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Fiba, Dasar Pemikiran KH.Ahmad Dahlan http://lppbi-fiba.blogspot.
com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html, diakses
tanggal 15 Juni 2012.
Masnun. “Organisasi Sosial dan Pendidikan Islam Muhammadiyah”,
dalam Abudin Nata (ed). Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2001.
Ramayulis. Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia. Ciputat; Quantum
Teaching, 2005.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.
Ali, Mukti. Alam Pikiran Modern di Indonesia Indonesia. Jakarta: Jajasan
Nida, 1971.
Kamal Pasha, Musthafa. dkk. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid.
Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.
Asy’ari, Hasyim. Etika Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titian Wacana, 2007.
 Adab al-‘Alīm wa al-Muta’allim fī mā Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fī
Ahwal Ta’līmihi wa ma Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu’allim fī Maqāmati
Ta’līmihi. Jombang: Maktabah At Turas Al Islami, tt.
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas, 2010.
Yasin, Mubarok. Peny, Fathurrahman Karyadi. Profil Pesantren Tebuireng.
Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011.
Kurniawan, Syamsul. Mahrus, Erwin. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam. Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
Nata, Abudin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa, 2003.
Ismail, Faisal. Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan
Modernitas. Jakarta: Bhakti Aksara Persada, 2003.
Marzuki. “Prinsip Dasar Pendidikan Karakter Perspektif Islam”, dalam
Darmiyati Zuchdi (ed). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan
Praktik. Yogyakarta: UNY Press, 2011.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2001.

No comments:

Post a Comment