Thursday, June 27, 2019

PDF

Materi-materi PAI kelas 7 secara keseluruhan akan admin bagi dalam  bentuk pdf, berikut daftar isi materi pai kelas 7 mts atau smp beserta link download nya :


Bab I Alif Lam Qomariyah dan Alif Lam Syamsiyah (download di sini)
Bab II Beriman Kepada Allah swt (download di sini)
Bab III Asmaul Husna (download di sini)
Bab IV Perilaku Terpuji (Tawadu, Sabar, Qonaah) ( download di sini )
Bab V Hadas dan Najis (download di sini)
Bab VI Wudhu, Tayamum dan Mandi Wajib ( download di sini )
Bab VII Shalat Fardhu (download di sini)
Bab VIII Shalat Berjamaah (download di sini)
Bab IX Sejarah Nabi Saw (download di sini)
Bab X Hukum Nun Mati (download di sini)
Bab XI Beriman Kepada Malaikat (download di sini)
Bab XII Perilaku Terpuji (kerja keras, ulet, tekun, teliti) download di sini
Bab XIII Shalat Jumat (download di sini)
Bab XIV Shalat Jama dan Qoshor (download di sini)
Bab XV Dakwah Nabi Saw. (Download di sini)


Semoga bermanfaat, wassalamualaikum wr wb.

Wednesday, June 26, 2019

Artikel Sejarah Pendidikan Islam "MASJID : MENGENAL LEMBAGA PENDIDIKAN PADA MASA BANI ABBASIYAH DAN PADA MASA SEKARANG"

MASJID : MENGENAL LEMBAGA PENDIDIKAN PADA MASA BANI ABBASIYAH DAN PADA MASA SEKARANG

TRI LESTARI
2117366, Sejarah Pendidikan  Islam, Kelas B, Pendidikan agama Islam 

Abstrak
Lembaga pendidikan islam adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi, dan sebagainya, baik tertulis maupun tidak tertulis,  termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga pendidikan pada masa bani abbsiyah itu banyak mulai dari lembaga pendidikan informal, non formal dan formal.  Lembaga pendidikan informal seperti rumah, lembaga pendidikan nonformal seperti : masjid, Al-maristan, Al-Zawiyah, Al-Ribath, Al-Kuttab, Al-Hawanit, Al-Wariqin, Al- Shahun Adabiyah, Al-Badiyat dan Al-Maktabat. sedangkan lembaga pendidkan  yang formal seperti:Madrasah. Lembaga pendidikan non formal pada masa abbasiyah adalah Masjid, Masjid adalah tempat untuk melaksanakan ibadah selain itu masjid juga digunakan untuk menyelesaikan masalah masalah kuam muslimin baik masalah yang bersifat pribadi maupun yang lainnya, yang diselesaikan dengan cara memusyawarahkan masalah tersebut, Masjid juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya militer, tempat untuk belajar anak-anak untuk mencari ilmu-ilmu dasar pendidikan agama islam, dan masih banyak lagi fungsi yang lainnya. Sistem pembelajaran yang digunakan di Masjid adalah halaqah(suatu sistem dimana murid murid duduk melingkar dan guru berada ditengah murid muridnya).
Kata Kunci : 1. Fungsi; 2. Peranan; 3. Masjid; 4. Metode
PENDAHULUAN 
Pada sistem lembaga pendidikan pada islam masih harus kita ulas agar lebih mengerti tentang sejarah perkembangan yang terjadi sampai saat ini. Dengan pembelajaran menggunakan media ini akan lebih memberikan sebuah filosofi sejarah adanya lembaga pendidikan yang sudah sangat banyak ditemui tidak seperti zaman dahulu yang harus melalui proses yang sangat panjang untuk kemajuan sarana pembelajarannya. Perkembangan intelektual islam ini disebabkan agama yang dibawa nabi muhammad telah mendorong untuk menumbuhkan budaya baru yaitu kebudayaan islam. Dorongan itu mula-mula menggerakkan terciptanya ilmu pengetahuan dalam lapangan agama, bermunculanlah ilmu ilmu agama dalam berbagai bidang. Perkembangan ilmu pengetahuan baik berupa ilmu agama maupun ilmu umum yang ada pada masa keemasan islam ini tidak terlepas dai lahir dan berkembangnya lembaga lembaga pendidikan yang sifatnya sederhana dan dapat dikatakan sebagai pendidikan tingkat rendah hingga lembaga pendidikan yang telah modern.
 Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga dalam bahasa inggris disebut dengan institute (dalam pengertian fisik), artinya suatu sarana atau suatu organisasai guna mencapai tujuan tertentu, pengertian lembaga dalam nonfisik atau abstrak itu disedut sebagai institution adalah sutau sistem,norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian  fisik disebut dengan bangunan, sedangkan lembaga dalam pengertian dari nonfisik disebut dengan pranata. Pengertian lembaga secara terminologi menurut Hasan Langgulung, lembaga pendidikan islam adalah sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi, dan yang lainnya, baik tertulis ataupun tidak tertulis, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik.
Secara etimologi, pengertian lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memeberi bentuk pada yang lain, badan atau orgaisasi yang bertujuan untuk mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan suatu usaha. lembaga pendidikan islam merupakan hasil pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang didasari, digerakkan, dan dikembangkan oleh jiwa islam (Al-Quran dan As-Sunnah). Lembaga pendidikan islam secara keseluruhan, bukanlah suatu yang datang dari luar, melainkan dari dalam pertumbuhan dan perkembangannya  serta mempunyai hubungan erat dengan kehidupan islam secara umum.
Karakter lembaga pendidikan islam secara spesifik :
Lembaga pendidikan islam bersifat holistik, terdiri dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal.  Lembaga pendidikan informal seperti : rumah, lembaga pendidikan nonformal seperti : masjid, Al-Maristan, Al-Zawiyah, Al-Ribath, Al-Kuttab, Al-Hawanit, Al-Wariqin, Al- Shahun Adabiyah Al-Badiyat dan Al-Maktabat, sedangkan lembaga pendidkan  yang formal seperti : madrasah.
Lembaga pendidikan islam bersifat dinamis, responsive, fleksibel, terbuka dan relegius.
Lembaga penddidikan islam berbasis terhadap masyarakat.
 latar belakang munculnya lembaga pendidikan islam
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di  Masjid-Masjid. Disisi lain perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara  tidak langsung, Madrasah adalah tujuan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya pengajian dimasjid yang fungsi utamanya adalah tidak menggangu kegiatan ibadah, kemudian dibuatlah tempat khusus untuk belajar yang dikenal dengan Madrasah. Dengan berdirinya Madrasah, maka pendidikan islam memasuki periode baru.
Awalnya Madrasah atau sekolah-sekolah milik pribadi dan sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh usaha-usaha pribadi dan swadaya masyarakat dengan pendanaan dari donatur donatur masyarakat. Lembaga lembaga umum didirikan untuk mengajarkan hadist-hadist nabi, hukum dan lainnya. Abu Hatim Al-Busti ( wafat 277 H/ 890 M), membangun sebuah sekolah di kota kelahirannya, dengan sebuah perpustakaan serta menyediakan beasiswa bagi pelajar yang berasal dari luar daerah atau yang bukan asli  dari daerah tersebut. Lembaga-lembaga seperti ini tumbuh menjamur sebagaimana didaerah timur, yaitu dibeberapa tempat seperti Naysyabur, Marv dan lain-lain. Semua pelajaran yang diajarkan haruslah diingat bahwa pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah ini (sekolah sunni), terutama pelajaran ilmu hadistnya sangatlah berbeda dengan pelajaran ilmu-ilmu tersebut merupakan sebuah serangan terhadap faham syi’ah. 
Salah satu faktor yang mendukung berdirinya lembaga pendidikan yang formal dalam bentuk Madrasah adalah faktor politik, hal ini bermula pada perpecahan yang terjadi akibat dari berdirinya kekhalifan syi’ah di Kairo yang memisahkan diri dari kekhalifahan sunni di Baghdad sebelum akhir abad ke 4 hijriah. Gerakan syi’ah yang hidup dibawah tanah sampai pertengahan abad 4 H/ 10 M, setelah memperoleh keberhasilan politik external (dari luar) ditengah dinasti Buwayhi di Irak dan dinasti Fathimiyah di Mesir, akhirnya mulai menyiarkan ilmu dan fahamnya secara terbuka. Syi’ah mengembangkan hadistnya sendiri dan hukumnya sendiri serta mengabdikan keduanya pada doktrin sentral imamah. Kaum syi’ah merebut lembaga-lembaga yang sudah ada dan mendirikan yang baru, dengan dasar kekuasaan politiknya menjadikan semua itu sebagai alat propaganda untu menyebarkan ideologinya (dakwah) mereka telah pandai dalam melakukan propaganda penyebaran ideologi dakwahnya, karena ia telah terlatih selama mereka berada dalam kegiatan-kegiatan bawah tanahnya yang lama.
Selain karena perbedaan doktrin (sunni-syi’ah), pada kedua golongan tersebut terjadi pula persaingan dalam berbagai bdang. Maka dari itu pendidikan menjadi senjata dari perlombaan politik tersebut. Khalifah-khalifah syi’ah di Kairo mengklaim diri mereka sebagai keturunan Nabi dan merekamemperkuatnya  melalui pendidikan yang terencana dan diselenggarakan oleh negara yang berpusat pada  lembaga yang diberi nama Dar ar ilmi. Sebuah Masjid yang berhasil direbut di Kairo segera digunakan sebagai tempat belajar sesuai dengan doktrin penguasa baru. Masjid ini sekarang dikenal dengan Al-Azhar, dan dianggap sebagai Universitas tertua didunia.
Menanggapi tantangan pendidikan tersebut, meskipun agak terlambat khalifah sunni yang diberi nama Madrasah pada abad ke 5 hijriah. Serupa dengan apa yang dilakukan oleh saingannya, lembaga ini didirikan guna menyebarluaskan dogma penguasa saat itu. Masih pada abad ke 5 Hijriyah Nizam Al-Mulk salah seorang wazir dinasti Seljuk yang sunni dan juga seorang penganut ideologi syafi’iyah asy’ariyah, merasa bahwa untuk melawan ideologi dinasty Fathimiyah di Kairo yang beraliran syi’ah saat itu cukup dengan mengangkat senjata, maka beliau berinisiatif untuk mendirikan Madrasah- Madrasah disetiap kota daerah kekuasaannya  yang tidak lain untuk membendung doktrin-doktrin syi’ah yang disebarkan secara aktif dan sistematik oleh dinasti Fathimiyah.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya sekolah-sekolah suni sudah ada dan lebih dahulu didirikan sebelum adanya propagada syi’ah selama kekuasaan politik mereka, yaitu menggunakan lembaga-lembaga akademis mereka sebagai alat propaganda. Sehngga akhirnya menyebabkan penguasa-penguasa sunni, yaitu bani Ayyub setelah runtuhnya kekuasaan syi’ah, memberikan dukungan penuh terhadap berdirinya lembaga-lembaga pendidikan sunni. Akan tetapi tidaklah benar juga, apabila dianggap bahwa lembaga-lembaga islam sunni memperoleh kemenangan yang sudah mengakar diantara mayoritas masyarakat luas, dan ini adalah alasan sebenarnya mengapa kebijakan-kebijakan tersebut selalu berhasil. Dogmatika As’ariyah memang memperoleh dukungan Negara. Tetapi penerimaannya secara luas adalah dikarenakan pengaruh orang-orang seperti : Al Ghazali, yang mengajar diinstitut Nizam Al-mulk di Bagdad.
 Lembaga Pedidikan pada Masa Dinasty Abbasiyah
Lembaga pendidikan islam bersifat holistik, terdiri dari lembaga pendidikan informal, non formal dan formal.  Lembaga pendidikan informal seperti : rumah, lembaga pendidikan nonformal seperti : masjid, Al-Maristan, Al-Zawiyah, Al-Ribath, Al-Kuttab, Al-Hawanit, Al-Wariqin, Al- Shahun aAabiyah, Al-Badiyat dan Al-Maktabat, sedangkan lembaga pendidkan  yang formal seperti : madrasah. lembaga pendidikan nonformal adalah Masjid, pengetian Masjid menurut terminologi adalah diambil dari kata sajada-yasjudu-sujudan yang artinya taat, patuh, dan tunduk dengan hormat dengan penuh takzim. Dari penjelasan diatas muncul istilah Masjid yang artinya tempat untuk melakukan segala aktivitas mengandung kepatuhan, ketaatan, ketundukan hanya kepada Allah swt. Pengertian Masjid menurut hadist adalah tidak merujuk pada sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk bersujud. Masjid adalah tempat Kaum Muslimin untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang menecerminkan kepatuhan, ketaatan, ketundukan kepada Allah swt.
Dari semua penjelasan diatas, nampaklah bahwa konsep Masjid tidak terlepas dari peran dan fungsinya atau saling berkaitan satu dengan yang lain. Artinya, makna Masjid, ialah tempat untuk sujud.
Pengertian lain Masjid diantaranya adalah menjelaskan kata Masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali didalam Al-Qur’an (shihab,2009:13). Dalam kitab suci Al- Qur’an disebutkan fungsimasjid didalam firmannya : bertasbihlah kepada Allah swt di Masjid-Masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namanya didalamnya pada waktu pagi dan petang, orang orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak( pula) oleh jual beli, atau aktivitas apapun dan mengingat allah swt, dan dari mendirikan sholat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu yang (dihari itu) hati dan penglihatan menjadi gunjang(Qs An: Nur 36-37).
Sebelum munculnya lembaga pendidikan formal, Masjid dijadikan sebagai pusat pendidikan selain untuk tempat ibadah dan Masjid-Masjid yang didirikan para penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam saran dan fasilitas untuk pendidikan diantaranya tempat belajar anak anak, tempat untuk pengajian, tempat untuk diskusi dan munazharah dalam berbagai bidang pendidikan, serta perpustakaan yang didalamnya terdapat berbagai macam buku-buku yang berisi ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Masjid ialah sebuah lembaga pendidikan yang tingkatnya terendah atau paling bawah, karena Masjid adalah tempat anak anak untuk belajar ilmu dasar  keagamaan, seperti tafsir, fiqh dan bahasa. Tetapi pendidikan menengah dilaksanakan dilembaga Masjid dan begitu pula dengan pendidikan yang levelnya lebih tinggi. Sejumlah halaqah dengan berbagai status muncul dalam suatu Masjid dan setiap siswa bebas mengikuti halaqah yang sesuai dengan level intelektualnya atau level pemikirannya. Selain level menengah dan level tinggi juga diselenggarakan di Masjid.
Dalam sejarah islam masjid itu merupakan madrasah yang pertama sesudah rumah dan al arqam bin ala arqam. Mereka berkumpul guna untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dialami oleh umat islam dan mereka menyelesaikan masalah tersebut dengan memusyawarahkan dan bertukar pendapat tentang segala masalah yang dialami oleh umat islam atau suatu urusan yang dialami yang berkaitan dengan kehidupan sosial keagamaan damn masyarakat atau bahkan masalah yang bersifat pribadi.
Dalam sejarah islam masjid adalah lembaga pendidikan terendah atau paling bawah, tempat anak anak belajar ilmu ilmu dasar agama, sepertitafsir, fiqh dan bahasa. Pendidikan menengah dilaksanakan lembaga masjid begitu pula pendidikan dilevel tinggi. Sejumlah halaqah dengan berbagai status muncul dalam masjid satu masjid dan setiap siswa bebas mengikuti halaqah yang sesuai dengan level intelektualnya. Selan level tinggi level menegah juga diselenggarakan dimasjid masjid.
Dalam sejarah islam Masjid merupakan lembaga terendah atau paling bawah tingkatannya, masjid itu berfungsi untuk tempat anak anak belajar ilmu ilmu dasar agama islam, seperti: tafsir fiqh, dan bahasa. Pendidikan menengah juga bisa dilaksanakan dilmbaga masjid dan begitu pula dengan pendidikan dilevel yang lebih tinggi.  Sejumlah halaqah mulai muncul dimasjid dan setiap murid bebas untuk memilih halaqah yang sesuai dengan level intelektualnya(pola berfikirnya). 
Sepanjang sejarah islam masjid sangat vital karena masjid selain tempat untuk melakukan ibadah, masjid juga merupakan tempat yang sangat multi fungsi dan sarana potensial untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan keislaman khususnya mendirikan masjid seiring berjalannya waktu atau dari masa kemasa, yang nantinya akan memberikan warna baru, ilmu baru, serta pengetahuan baru, mengenai dunia islam dan sangat menjanjikan dalam proses dinamika lembaga pendidikan islam  
Masjd lainnya yang juga terkenal sebagai pusat kegitan pendidikan ialah masjid jami’ damaskus. Didalamnya terdapat halaqah halaqah pembelajeran bagi para murid. Ada sebuah pojok tempat belajar murid murid imam malik dan pojok yang lain belajar murid murid imam syafi’i. Demikian pula dimasjid jami’ amr di mesir, yang juga terdapat beberapa pojok, tempat murid murid belajar didalamnya.
Masjid lain yang juga terkenal sebagai pusat kegiatan pendidikan ialah masjid jami’ damaskus, yang didalamnya itu terdapat sistem pembelajaran berupa  halaqah halaqah pembelajaran untuk siswa atau murid. Dan ada sebuah pojok yang digunakan  tempat belajar untuk murid murid imam malik dan  sebuah pojok  yang lain digunakan tempat belajar  untuk murid murid dari syafi’i. Demikian pula masjid jami’ amr di mesir yang juga terdapat beberapa pojok yang digunakan untuk tempat murid murid belajar didalamnya. 
Masjid jami’ adalah masjid yang memilki dua tipe lembaga pendidikan islam yang sangat dekat dengan aktivitas pengajaran agama islam. Kedua tema tersebut, pada intinya memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagi tempat melakukan ibadah dan pengajaran tentang agama islam. Kemunculana masjid sebagai lembaga pendidikan yang sudah dimulai dari zaman rasulluh saw. Dan dari zaman khulafaur rasyidin, kemudian jami’ muncul dan banyak didirikan oleh para penguasa dinasti khususnya abbasiya. Jami’ yang didirikan diantarannya adalah jami’ damaskus, jami’ Al Azhar dan masih banyak yang lainnya.
Dengan demikian pendidikan islam dan masjid merupakan suatu kesatuan yang integral atau saling berhunbungan satu sama lain, dimana masjid menjadi pusat dan urat nadi kegiatan keislaman yang meliputi kegiatan keagamaan, politik, kebudayaan, ekonomi, yudikatif, Mulai sejak zaman rasulullah saw. Dengan masjid quba dan nabawi hingga masjid bagdad pada masa dinasti abbasiyah, kemudian berkembang menjadi masjid khan sebagai tempat pemondokan bagi pencari ilmu di lingkungan halaqah masjid dari berbagai wilayah islam.  
Sejak zaman rasulullah masjid sudah digunakan sebagai lembaga pendidikan dan demikian pula pada masa dinasti abbasiyah,  selain untuk tempat ibadah masjid juga merupakan lembaga pendidikan, tempat peradilan untuk umat islam, dan tempat untuk berkumpulnya militer. Masjid sudah ada sejak zaman rasullluh dan juga digunakan sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi masjid tidak digunakan sebagai tempat untuk melakukan ibadah saja akan tetapi masjid jiga digunakan sebagai lembaga pendidikan, tempat peradilan bagi umat islam, dan juga digunakan sebagai tempat untuk berkumpulnya militer.
Sejak bedirinya masjid dizaman rasulullah saw masjid sudah menjadi pusat  untuk melalukan aktivitas atau kegiatan dan tempat untuk mendapatkan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin, ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi lainnya dan juga sebagai tempat penyelengaraan pendidikan untuk kaum muslimin.
Fungsi masjid bukan hanya untuk tempat ibadah saja, tetapi juga bisa berfungsi sebagai pusat kegiatan dan kebudayaan. Sistem pembelajaran  yang digunakan didalam masjid berbentuk halaqah atau suatu sistem dimana murid membentuk lingkaran dan guru berada didalam lingkaran tersebut sistem pembelajaran halaqah berkembang dengan baik pada masa kekuasaan bani abbsiyah, dan sejalan juga dengan munculnya berbagai macam agama, dan terkadang didalam suatu masjid besar terdapat beberapa halaqah  dengan materi pembelajaran yang berbeda beda seperti nahwu, ilmu kalam, fiqh dan lainnya. Ini terjadi dimasjid al kasai ala manshur dibagdad. Nama lain dari masjid itu adalah surau.
Selain fungsi masjid yang sudah disebutkan diatas ada fungsi lain dari masjid yaitu masjid  berfungsi sebagai tempat untuk bersosialisasi bagi umat islam.
Selain itu Masjid juga bisa berfungsi sebagai media dakwah yang potensial bagi umat muslim. Artinya masjid bisa mengubah masyarakat menjadi mandiri, maksudnya kemandirian sosial ekonomis ditingkat bawah.
Bagi para pelajar pendidikan tidak hanya dikembangkan dengan cara yang sistematis seprti halnya di lembaga lembaga formal. Akan tetapi juga dilakukan juga dimasjid masjid yang terdapat disemua kota muslim. Setiap orang yang mengunjungi masjid jami’ maka ia boleh mengikuti pembelajaran tentang hadist. Metode yang digunakan adalah halaqah
Selain metode halaqah terdapat lingkaran para pembaca al quran dan karya sastra di masjid masjid. Materi yang diajarkan bukan hanya seputar keagamaan, akan tetapi masih terdapat puisi dan linguistik. tradisi lingkaran (halaqah) dalam pembelajaran di masjid sudah sudah menjadi bagian inheren pada masa kekhalifahan bani abbasiyah.
 Jenis pelajaran tentang keagamaan yang diajarkan di lembaga masjid pada masa bani abbasiyah yaitu sebagai berikut:
Dibidang fiqih dipengaruhi madrasah ahl al ra’yi (madhab hanafi) yang berkembang di kuffah. Dan ada dua madhab lain yang berkembang yakni madhab al auza’i dam madhab al dhahiri.
Madhab hanifah berkembang sangat pesat, pada masa khalifah al-mansur. Karena beliau menyuruh muhammad bin hasan al shaibani menjadi seorang pemimpin disebuah masjlis kehakiman. Sistem pembelajran yang digunakan fiqih yaitu halaqah yang silsilahnya bersabung dari murid ke guru dan seterusnya ke atas. Selain metode  pembelajaran diatas para ulama saling beradu pendapat melalui karang karangan kitabnya. Dan setiap imam madhab dan murid muridnya juga berusaha mengarang kitab pedoman yang digunakan sebagai rujukan dalam bermadhab. 
Dalam bidang shair dan sastra, setiap bangsawan dan suku saling berlomba lomba mengeluarkan shi’ir terutama didepan istana.
Pada masa dinasti abbsiyah terjadi perkembangan ilmu aneka ragam bahasa. Hal tersebut terjadi di daerah kuffah dan basrah. Dalam Perkembangan bahasa tersebut cukup memberikan perkembangan yang sangat besar. Mereka juga mensharahi kitab kitab qira’ah dengan versi nahwu tang mempunyai tujuan untuk mengetahui kesulitan yang terdapat dalam ilmu al quran baik dar segi bahasa maupun dari segi penafsirannya.
Dalam bidang ilmu al quran banyak ahli qira’ah yang berkembang pesat. Seperti qira’ah al sab’ah yang pertama digagas oleh abu bakar bin mujahid melali karangan.
Abu bakar mengumpulkan beberapa ahli qira’ah dan pada akhirnya terpilih tujuh qira’ah. Dari ketujuh qira’ah tersebut diminta untuk menyatukan pendapat dalam sebuah karangan kitab yang diberi nama qira’ah sab’ah. Sistem pembelajaran yang digunakan yaitu talaqqi. Sistem ini ialah sistem pembelajaran dengan cara langsung bertatap muka dengan guru. 
 Ilmu tafsir dapat melahirkan ulama ulama ahli tafsir untuk mengaran suatu kitab. Sementara muridnya mempelajari kitab tersebut disertai dengan sanad yang valid. Sistem metode pembelajarannya adalah sama(sanida al daqiqati) metode sama adalah sebuah metode yang sangat meperhatikan pada sanad. Penulisan tafsir banyak di pengaruhi oleh bahasa.
Ulama menauh perhatian besar dalam ilmu hadist, sehingga beliau bisa membukukan hadist mula dari mustalah al hadist, ilmu sanad dan ilmu hadist itu sendiri. Metode yang digunakan ilmu hadist yaitu metode periwayatan dan penulisan hadist. Dimana guru menulis hadist sekaligus meriwayatkan.murid menulis hadist yang ia terima dari beberapa guru yang ia terima. Atau yang bisa disebut denga metode ceramah dan bandongan.
Dari Berbagai jenis materi yang diberikan di masjid, metode pembelajaran digunakan itu berbeda beda disesuaikan dengan jenis materi pelajaran tertentu seperti pelajaran fiqih metode yang digunakan adalah halaqah dan adu pendapat berdasarkan kitab kitab karangan, haidst metode yang digunakan adalah halaqah yang lebih perhatian dengan periwayatan dan penulisan hadist, ilmu al qur;an mneggunakan ilmu talaqqi dan halaqah, dan yang terakhir adalah ilmu tafsir menggunakan sama al sanida al daqiqoti.
Secara umum Metode pembelajaran dimasjid  yang digunakan biasa adalah metode presentasi, metode demontrasi, metode diskusi dan metode ceramah yang merupakan bagian metode dai metode langsung. Metode diksusi merupakan bagian model metode pembelajaran yang bersifat kooperatif.
Ada beberapa kelebihan dari model pembelajaran yang bersifat lansung ini seperti: murid menjadi lebih fokus terhadap akademik, kontrol guru, harapan tinggi atas perkembangan murid, sistem manajemen waktu,dan akadamik yang relatif stabil, jika murid fokus terhadap akademik yang diajarkan murid akan dapat menghasilkan dan  memajukan prestasi belajar siswa.
Pendidikan dan pengajaran berkembang sangat pesat pada masa dinasty abbsiyah sampai mereka rela meninggalkan kampung halamannya demi mendapatkan ilmu pengetahuan dan mereka juga berlomba lomba menunutut ilmu baik yang anak anak maupun yang dewasa, dan salah satu faktor berkembang pesatnya pendidikan dan pengajaran ditandai dengan berkembangnya lembaga lembaga pendidikan baik lembaga pendidikan tersebut bersifat formal maupun tidak formal. 
Seiring dengan stabilnya kondisi sosial politik terutama pada masa pertengahan pemerintahan abbasiyah, aktivitas pendidikan dan pengetahuan berkembang dengan pesat. Berbagai prestasi yang diraih oleh umat islam pada masa ini mampu menempatkan umat islam berada pada posisi puncak kejayaan peradaban islam menapaki zaman keemasan berlangsung pada zaman dinasty abbsiyah. Perbandingan kemajuan yang pernah diperoleh antara masa bani rasyidah, kekuasaan bani abbasiyah dengan kekuasaan bani abbasiyah juga sangat signifikan. Pada masa khalifah rasyidah yang mengalami kemajuan pada politik dan militer, pada masa umayyah yang mengalami kemajuan pada politi, ekonomi dan militer, dan yang terakhir pada masa bani abbasiyah yang mengalami pencapaian kemajuan dipolitik, militer, ekonomi, sains dan peradaban.
Pada masa pertengahan pemerintahan bani abbsiyah ilmu pengetahuan dan pendidikan  berkembang sangat cepat, sehingga pada masa kekuasaan bani abasiyah memperoleh beberapa prestasi umat islam pada masa ini dan mampu menempatkan posisi umat islam berada dipuncak kejayaan peradaban islam, zaman bani abbsiyah adalah zaman keemasan atau zaman dimana pada saat itu umat islam berada dipuncak kejayaannya.perbandingan kemajuan bani rasyidah, kekuasaan bani umayyah dan kekuasaan bani abbsiyah pada masa khalifah rasyidah mengalami kemajuan pada politik dan militer, Kemajuan yang diperoleh bani abbasiyah dan bani umayyah itu sangat pesat, kemajuan pada masa kekuasaan bani umyyah mengalami kemajuan pada politik ekonomi dan militer dan yang terakhir kemajuan pada saat kekuasaan bani abbasiyah adalah kemajuan pada politik,ekonomi, militer, sains dan peradaban islam kemajuan bani abbasiyah yang menambah panjang diantara bani rasyidah dan kekuasaan bani umayyah.
Pendidikan islam mengalami kemajuan pada masa kekuasaan dinasti abbasiyah antara abad 8-13 M. Pada saat itu islam berada dipuncak kejayaan peradaban dan kebudayaan dumia. Dan sejarah mencatat kebesaran dan kejayaan islam pada saat itu, masa keemasan peradaban yang dicapai pada saat kekuasaan bani abbsiyah itu belum pernah diungguli dan belum pernah tercapai oleh masyarkatdan bangsa dimanapu juga tapi pada masa kekuasaan dinasti abbasiyah yang tadinya belum pernah tercapai dibangsa manapun  dan yang belum pernah tercapai oleh masyarkat bisa tercapai pada masa kekuasaan bani abbsiyah.
Di era modern, fungsi ideal masjid pada masa bani abbasiyah masjid memiliki fungsi yang sangat banyak dan diantara salah satu fungsinya adalah sebagai tempat untuk belajar anak anak mengenai dasar agama islam yang saat ini nampaknya sangat sulit untuk diwujudkan di masa sekarang ini, yang ada justru penyempitan fungsi  dari masjid,  yang tadinya fungsi masjid pada masa abbasiyah itu banyak, sekarang fungsi hanya untuk tempat melaksanakan ibadah saja, dan tidak lagi berfungsi sebagai tempat belajar bagi anak anak maupun dewasa dan bahkan ada beberapa masjid yang sudah tidak digunakan lagi dalam kondisi tertentu. Hanya sedikit masjid dimasa sekarang yang masih berfungsi sebagai  tempat untuk belajar anak-anak dan digunakan untuk tempat bersosialisasi atau tempat untuk pengajian.
Masjid masjid terbagi beberapa masjid:
Masjid kampung (pedesaan)
Masjid kampung adalah masjid yang berada di sebuah pedesaan atau sebuah desa dan biasanya Letak masjid kampung agak jauh dari tempat tinggal masyarakat pedesaan, masjid kampung atau masjid pedesaan biasanya masih banyak fungsi atau masih sering digunakan, fungsi masjid pedesaan adalah bukan hanya untuk tempat melakukan ibadah saja tetapi juga berfungsi sebagai tempat untuk tempat pengajian bahkan ada masih ada masjid dipedesaan yang masih berfungsi sebagai tempat untuk belajar anak anak atau yang biasa disebut dengan nama tpq. 
Masjid wisata
Masjid wisata adalah sebuah masjid yang  hanya berfungsi untuk tempat wisata saja bukan untuk tempat melaksanakan ibadah.
Masjid instansi
Masjid pusat kota
Masjid kota adalah masjid yang dibangun di sebuah kota dan menjadi pusat untuk  melaksanakan ibadah
Masjid kompleks (perumahan)
Masjid kampus
Demikian macam macam masjid yang sudah disebut diatas, memunculkan kesan bahwa fungsi masjid dimasa sekarang tidak lagi menjadi rumah allah swt yang hak penggunaannya untuk seluruh umat islam dengan fungsi pokonya seperti  yang sudah dijelaskan diatas. tetapi fungsi masjid dimasa sekarang adalah untuk tempat wisata tidak hanya itu saja tetapi juga tempat untuk wisata. masjid dimasa sekarang itu bagus-bagus,besar-besar tetapi tidak digunakan dengan maksimal dan masjid dimasa sekarang semakin sepi, masjid akan ramai pada hari hari tertentu atau hari besar umat islam saja seperti pada bulan ramdhan, hari raya idul fitri dan idul adha pada bulan ramdhan digunakan untuk tempat pengajian yang biasanya dilaksankan pada sore hari (kuliah senja), tempat  untuk mengaji (tadarus) dan untuk tempat ibadah. pada hari raya idul fitri digunakan untuk melaksanakan sholat idul fitri, serta pada hari raya idul adha masjid juga digunakan untuk melaksanakan sholat idul adha dan untuk tempat penyembelihan hewan kurban.



















C. Simpulan 
Lembaga pendidikan pada masa bani abbasiyah yaitu: lembaga pendidikan informal, formal, dan nonformal. Lembaga pendidkan nonformal seperti masjid, masjid adalah tempat untuk melakukan segala aktivitas mengandung kepatuhan, ketaatan, ketundukan hanya kepada allah swt. Masjid memilik banyak fungsi, masjid bukan sekedar untuk tempat ibadah saja tetapi masjid memiliki fungsi yan bermacam macam seperti masjid berfungsi sebagai tempat untuk berdakwah, tempat untuk pengajian, tempat untuk bersosialisai, tempat untuk berkumpulnya militer, tempat untuk memecahkan masalah umat muslim baik pribadi atau yang lainya dan fungsi yang utama adalah sebagai tempat untuk belajar anak anak mengenai dasar dasar agama islam yang menggunakan sistem halaqah (dimana sistem tersebut murid membentuk lingkaran dan guru berada ditengah-tengah muridnya). Masjid itu mempunyai banyak fungsi tidak hanya sekedar untuk tempat ibadah saja tetapi masjid juga berfungsi sebagi tempat untuk berkumpul militer, tempat untuk menyelesaikan masalah masalah umat islam baik masalah kehidupan sosial atau masalah pribadi, tempat untuk bersosialisasi, tempat untuk berdakwah, tempat untuk politik,  terutama tempat untuk pemdidikan anak anak belajar tentang dasar agama islam. Masjid jami’ salah satu masjid terkenal Adapun pendidikan yang diajarkan diantaranya adalah Dibidang fiqih dipengaruhi madrasah ahl al ra’yi (madhab hanafi) yang berkembang di kuffah. Dan ada dua madhab lain yang berkembang yakni madhab al auza’i dam madhab al dhahiri.Dalam bidang shair dan sastra, setiap bangsawan dan suku saling berlomba lomba mengeluarkan shi’ir terutama didepan istana.Dalam bidang ilmu al quran banyak ahli qira’ah yang berkembang pesat. Seperti qira’ah al sab’ah yang pertama digagas oleh abu bakar bin mujahid melali karangan, Ilmu tafsir dapat melahirkan ulama ulama ahli tafsir untuk mengaran suatu kitab. Sementara muridnya mempelajari kitab tersebut disertai dengan sanad yang valid. Sistem metode pembelajarannya adalah sama(sanida al daqiqati). Metode pembelajran yang digunakan berbeda beda sesuai dengan kemapuan iltelektualnya(pola pemikirinya)Ulama menauh perhatian besar dalam ilmu hadist, sehingga beliau bisa membukukan hadist mula dari mustalah al hadist, ilmu sanad dan ilmu hadist itu sendiri. Metode yang digunakan ilmu hadist yaitu metode periwayatan dan penulisan hadist. Dimana guru menulis hadist sekaligus meriwayatkan.murid menulis hadist yang ia terima dari beberapa guru yang ia terima. Atau yang bisa disebut denga metode ceramah dan bandongan.
 Lembaga pendidikan masjid dari masa kemasa mengalami penyempitan dalam fungsinya. Di era modern ini fungsi masjid tidak lagi sama dengan fungsi masjid pada masa abbsiyah dan bahkan sulit untuk diwujudkan, fungsi masjid di masa sekarang adalah sebagi tempat ibadah dan tempat wisata. Masjid di masa sekarang bagus bagus dan besar besar, tetapi masjid tidak digunakan dengan maksimal tidak seperti pada masa bani abbassiyah yang digunakan secara maksilmal sehingga mempunyai fungsi yang banyak, masjid dimas asekrang ini semakin hari semain sepi akan ramai pada hari hari tertentu saja seperti bulan ramdhan, hari raya idul fitri dan hari raya idhul adha, pada bulan ramdahn umat islam melaksanakan ibadah shalat terawih dimasjid dan juga mengaji (tadarus) dimasjid selain itu biasanya pada bulan ramdhan masjid berfungsi sebagai pengajian atau media untuk berdakwah, pada hari raya idulfitri dan idul adha fungsi masjid hampir sama yaitu untuk tempat me;aksankan shlat id baik idul ftri maupun idhul adha.


DAFTAR PUSTAKA
Alimni. 2014. Peradaban Pendidikan: Gerakan Intelektual Masa Abbasiyah, Jurnal At-Ta’lim, Vol. 13, No.2.
Andriani, Asna. 2006. Munculnya Lembaga Pendidikan Islam. Jurnal Falasifa Vol.7, No.2.
Engku , Iskandar dan Situ Zubaedah. 2014. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Harun Nasution. 1999.Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.
Mayamah. 2015. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abasiyah. Jurnal Tadrib, Vol.1 No.1. 
Muclis, Aulia Fikri Arini. 2009. Masjid : Bentuk Manivestasi Seni dan Kebudayaan.Jurnal ei-Harakah , Vol.11,  No.1.
Ramanyulis. Ilmu Pendidikan Islam.
Salabi, A.1973. Sejarah  Pendidikan  Islam. Jakarta:bulan bintang.
Sidi Gazalba. 1994. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Pustaka Al-Husna.
Tualeka, M. Wahid. 2016. Tipologi-tipologi lembaga  pendidikan  islam, jurnal pendidan islam, Vol.5, No.2.

Artikel Sejarah Pendidikan Islam "KEBERAGAMAN NUANSA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (PEMIKIRAN TOKOH MODERNIS DAN TRADISIONALIS)"

KEBERAGAMAN NUANSA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (PEMIKIRAN TOKOH MODERNIS DAN TRADISIONALIS)

Muhammad Arif Maulana
2021115167, Sejarah Pendidikan Islam, Kelas B, Pendidikan Agama Islam

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari tentang reformasi pendidikan Islam serta korelasi mereka dengan sistem pendidikan saat ini. Menunjukkan bahwa konsep reformasi pendidikan Islam dari KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari serupa, yaitu: tujuan Pendidikan Islam adalah untuk membentuk insan kāmil, materi pendidikan dalam Islam adalah sebuah materi integral antara agama dan sains, metode pendidikan bervariasi, dan pengembangan institusi pendidikan dalam bentuk SMA Islam Sekolah. Perbedaan konsep reformasi pendidikan Islam antara keduanya adalah arah dan orientasi pendidikan. Untuk KH. Ahmad Dahlan, tujuannya pendidikan Islam mengarah pada peningkatan kehidupan ekonomi dan politik, dan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui modernisme dalam pendidikan. Untuk KH. Hasyim Ash’ari, tujuannya pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas moral rakyat melalui pemeliharaan budaya Islam tradisionalis, dengan menggunakan buku-buku klasik sebagai bahan penting untuk dipelajari dalam mengembangkan pengetahuan agama.

Kata Kunci : Pendidikan Islam, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy;ari.

Pendahuluan
Gencarnya suara pembaruan pemikiran Islam yang dicanangkan oleh para pembaru muslim dari berbagai negara seperti Mesir, India, Turki, Pakistan sampai juga gaung pembaruan itu ke Indonesia yang menyadarkan umat Islam dari era kemunduran yang dialami. Salah satu dampak dari “suara pembaruan” itu adalah munculnya pembaruan di bidang pendidikan. Lebih lanjut di awal abad ke dua puluh, muncullah ideide pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, ide ini muncul disebabkan sudah mulai banyak orang yang tidak puas dengan sistem pendidikan yang berlaku saat itu, oleh karena ada sisi yang perlu diperbarui. Sisi yang perlu diperbarui itu, pertama dari segi isi (materi), kedua dari segi metode, ketiga dari segi manajemen dan administrasi pendidikan.
Dari segi isi (materi) yang disampaikan sudah ada keinginan untuk memasukkan materi pengetahuan umum ke dalam isi pengajaran Islam masa itu. Dari segi metode tidak lagi hanya menggunakan metode, sorogan, wetonan, bandongan, hafalan, tetapi diinginkan adanya metodemetode baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.1 Selanjutnya keinginan untuk mengelola lembaga pendidikan Islam, telah muncul dengan diterapkannya sistem klasikal dan pemberlakuan administrasi pendidikan.
Pembaruan-pembaruan yang muncul ini merupakan awalkebangkitan global Islam di Indonesia menuju pembaruan yang lebih baik termasuk dalam bidang pendidikan.2 Pemikiran-pemikiran inspiratif dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam pada masa itu sepertiPembaruan-pembaruan yang muncul ini merupakan awal kebangkitan global Islam di Indonesia menuju pembaruan yang lebih baik termasuk dalam bidang pendidikan. Pemikiran-pemikiran inspiratif dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran Islam pada masa itu seperti Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Rifa’ al-Thathawi, Sayyid Ahmad Khan dan lain sebagainya memberi pengaruh besar bagi pola pikir tokoh-tokoh Islam di Indonesia untuk melakukan pembaruan. Pembaruan yang dilakukan adalah upaya untuk meninggalkan pola pemikiran lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan juga merupakan upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Semangat pembaruan mengakibatkan perpecahan umat Islam di Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu modernis dan tradisionalis. Kelompok pertama dengan tokohnya H.O.S (Haji Oemar Said) Cokroaminoto (1882-1934), pemimpin besar Syarikat Islam (SI), KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, dan Ahmad Hasan (1887-1958), pendiri Persatuan Islam (Persis), berusaha meremajakan Islam agar dapat menyerap kemajuan Barat melalui sains ke dalam pengajaran serta mencoba memurnikan ajaran Islam dengan meningkatkan kesadaran beragama bagi pemeluknya. Gerakan ini dianggap membahayakan bagi kalangan Muslim tradisionalis yang memilih corak madzhab Islam yang terdapat di Jawa. Kelompok kedua dengan tokohnya KH.Hasyim Asy’ari (1871-1947) berusaha meningkatkan peran Islam dan pemikiran Islam dengan tetap berpegang pada ajaran empat madzhab.
Berdasarkan ide pembaharuan yang di sampaikan oleh dua tokoh pemikir besar KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy;ari yang merambah dunia pendidikan. Karena sebab – sebab tertentu mereka berdua memang memiliki karakteristik dan cara pandang yang berbeda, akan tetapi perbedaan itu “seharusnya” tidak lantas menimbulkan permusuhan. Penulis mengangkat tema keberagaman nuansa pendidikan Islam di Indonesia ( pemikiran tokoh modernis dan tradisionalis ), walaupun keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda akan tetapi terdapat kesamaan tujuan yaitu memajukan umat Islam Indonesia.
Dua corak pemikiran yang berbeda di era yang sama dalam masa transisi kebangkitan Islam di Indonesia ini, memberi ketertarikan penulis untuk melakukan studi kritis komparatif dengan mencari perbedaan dan persamaan pemikiran dua tokoh antara KH.Ahmad Dahlan dengan KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh besar dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia untuk dikaji dan dianalisa lebih mendalam. 
Pembahasan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
Pembaruan secara etimologis berarti “proses, perbuatan, cara memperbarui.” Dalam bahasa Arab disebut dengan tajdīd. Pembaruan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya sebagai aksi untuk menggugah kesadaran dalam rangka membentuk citra diri melalui pola tertentu akibat timbulnya tantangan yang kompleks pada zamannya. Gerakan tajdīd sering disebut dengan reformasi karena bertujuan membentuk kembali citra diri melalui penataan kembali masyarakat, karena tidak sesuai dengan zamannya.
Pembaruan dalam Islam dilakukan pada hal-hal yang terkait dengan masalah-masalah yang melingkupi kehidupan muslim, bukan yang terkait dengan dasar atau ajaran Islam yang fundamental. Pembaruan tidak dilakukan pada al-Qur’an dan Hadith itu sendiri, tetapi penafsiranpenafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dan Hadits itulah yang diperbarui, sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan zaman.
Pemikiran Modernis (Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan)
Kegelisahan tokoh pendidikan KH. Ahmad Dahlan merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan mereka terhadap kondisi bangsa Indonesia yang terjajah. Mardanas Safwan mengutip yang diungkapkan Haji Fahruddin, seorang murid KH.Ahmad Dahlan bahwa umat Islam pada awal abad ke 20 tidak maju dan mengalami kemandegan. Tidak terdapat sinar kebesaran dan kecemerlangan dalam masyarakat pemeluk agama Islam di Indonesia pada waktu itu. Kehidupan umat Islam serba susah, ekonomi tidak maju, pendidikan terbelakang dan kehidupan sosial budaya tidak membesarkan hati. KH.Ahmad Dahlan terpanggil untuk turut memikirkan dan memperbaiki keadaan terpuruk umat Islam Indonesia. Usaha KH.Ahmad Dahlan terealisasikan dengan berdirinya Organisasi Muhammadiyah.
Pribadi KH.Ahmad Dahlan identik dengan gerakan dan perjuangan. Ia adalah potret seorang pejuang dan pahlawan. Kepahlawananya bukan dalam sosok prajurit yang memanggul senjata dan gugur dalam medan perang, tetapi dalam sosok kemanusiaan: ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan kemaslahatan pendidikan, dakwah dan sosial keagamaan dalam wawasan kebangsaan yang kental dan integral. Pemikiran-pemikiran pembaruan pendidian Islam KH.Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Islam Perspektif KH. Ahmad Dahlan
Pemikiran KH.Ahmad Dahlan merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Masa di bawah kolonial Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi, sosial dan politik karena tidak memiliki akses kepada sektorsektor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta. Kondisi yang demikian itu menjadi perhatian KH.Ahmad Dahlan dengan berusaha memperbaiki sistem pendidikan Islam. Berangkat dari kondisi ini, maka menurut KH.Ahmad Dahlan, pendidikan Islam bertujuan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ’abd maupun khalīfah fī al-ard. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas peserta didik. Menurut KH.Ahmad Dahlan, upaya ini akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses pendidikan yang demikan pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni ”intelektual ulama” yang berkualitas. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan.
Adapun intelek ulama yang berkualitas yang akan diwujudkan itu harus memiliki kepribadian al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan memiliki pandangan mengenai pentingnya pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran al-Quran dan Hadits. Karena Nabi merupakan contoh pengamalan al-Qur’an dan Hadits, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Materi Pendidikan Islam Perspektif KH. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan menginginkan pengelolaan pendidikan Islam secara modern dan profesional, sehingga pendidikan yang dilaksanakan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu, pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif. Dalam pelaksanaan pendidikan yang terkait dengan penyempurnaan kurikulum, Ahmad Dahlan telah memasukkan materi pendidikan agama dan umum secara integratif kepada lembaga pendidikan sekolah yang dipimpinnya. Materi pendidikan KH.Ahmad Dahlan adalah al-Qur’an dan Hadith, membaca, menulis, berhitung menggambar. Materi al-Qur’an dan Hadith meliputi: ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur’an dan Hadith menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berfikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya dan akhlak.
KH.Ahmad Dahlan kemudian memperkokoh kepribadian intelek ulama. Sekolah-sekolah yang didirikan KH.Ahmad Dahlan cenderung menyesuaikan dengan sistem pendidikan kolonial sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan. Atas dasar itu, KH.Ahmad Dahlan pada tahun 1911 mendirikan “Sekolah Muhammadiyyah” yang menempati sebuah ruangan dengan meja dan papan tulis. Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah-sekolah model barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat dan sebagainya.
Di samping itu, KH.Ahmad Dahlan menggagas pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur’an dan Hadith, bukan semata-mata pada kitab tertentu. Upaya mengaktualisasikan itu bukan hal yang mudah, hal ini didasarkan seting lembaga-lembaga pendidikan tradisional saat itu terbatas pada dimensi religius yang membatasi pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya pada Madzhab Syafi’i. Idiologi ilmiah semacam ini digunakan sebagai pelindung oleh kelompok tradisional guna mempertahankan semantik statis terhadap epistemologi yang telah dikembangkan. Sikap demikian hanya akan melahirkan pemikir “pemamah” yang tak mampu mengolah secara kritis ilmu pengetahuan yang diperolehnya, sehingga mereka kurang bisa berkompetisi secara produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Dari sini tampak sekali langkahlangkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, dengan merintis lembaga pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Gagasan pendidikan yang dipelopori KH. Ahmad Dahlan, merupakan perubahan dan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek nilai-nilai agama dan pengetahuan umum, iman dan kemajuan teknologi, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya.
Metode Pembelajaran Perspektif KH. Ahmad Dahlan
KH.Ahmad Dahlan mencermati pembelajaran yang selama ini berlangsung di lembaga-lembaga Islam masih stagnan, tradisional yang menyebabkan lamanya materi tertentu dipahami siswa. Usaha KH. Ahmad Dahlan dalam melakukan perombakan dalam metode pembelajaran adalah menggunakan metode klasikal atau kelas sebagaimana sudah diterapkan dalam sekolah gubernemen. Bagi KH. Ahmad Dahlan, pemahaman materi agama Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Ia mengajarkan kitab suci al-Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan al-Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan al-Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Lebih lanjut, untuk pendalaman materi agama, KH. Ahmad Dahlan selalu melakukan tabligh, yaitu da’wah dengan memberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan masalah agama. Tabligh ini dilaksanakan secara teratur sekali seminggu atau secara berkala oleh para mubaligh yang berkeliling.
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Perspektif KH.Ahmad Dahlan
Salah satu ciri gerakan yang bernuansa Islam baru dapat disebut ”modern” manakala gerakan keagamaan tersebut menggunakan metode “organisasi”. Berdasarkan parameter tersebut, Muhammadiyah yang sejak awal menggunakan metode “organisasi” dengan sendirinya disebut sebagai sebuah gerakan keagamaan Islam yang modern. Muhammadiyah mencurahkan usahanya di bidang pendidikan dan amal-amal sosial, dengan penekanan pada pemurnian agama Islam pada bentuknya yang asli dengan menghilangkan beban “kultural” praktik-praktik keagamaan.
Menurut KH. Ahmad Dahlan lembaga pendidikan Islam harus dikelola sebaik mungkin, KH. Ahmad Dahlan lantas membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kyai sebagai pemimpinnya meninggal dunia. 
KH. Ahmad Dahlan sebagai manajer tidak bosan-bosan memberi motivasi agar para anggota Muhammadiyah terus berjuang dan memiliki etos kerja yang tinggi sehingga organisasi Muhammadiyah akan eksis sepanjang masa yang diharapkan mampu membawa pada kemajuan pada seluruh masyarakat Indonesia. KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang pelopor sekaligus pemimpin Muhammadiyah mengelola organisasi Muhammadiyah sehingga menjadi organisasi yang berlevel nasional. Berawal gerakannya hanya sebatas di Yogyakarta gerakan ini terus meluas hingga ke seluruh Nusantara. Hal ini dikarenakan kerja keras dan tekad KH. Ahmad Dahlan yang besar untuk menyebarkan ide-ide Muhammadiyah. Demi merealisasikan tujuan organisasinya, KH. Ahmad Dahlan membentuk kader organisasi dan guru-guru agama dengan mendirikan Pondok Muhammadiyah.
Jadi secara kelembagaan pendidikan Muhammadiyah mendirikan dua macam sekolah, yakni mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ilmu-ilmu keagamaan ke dalamnya dan madrasah-madrasah yang juga diberikan pelajaran umum di dalamnya.
Pengelolaan lembaga pendidikan Muhammadiyah menurut KH. Ahmad Dahlan adalah mengambil jalan tengah, yaitu menerima sistem gubernemen tapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keislaman yang berlaku.
Pemikiran Tradisionalis (Pemikiran Pendidikan Islam KH. Hasyim Asy’ari)
Pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari sangat dipengaruhi dengan keahlianya dalam bidang Hadits,Fiqih dan Tasawuf. Pemikiran pendidikannya juga didorong oleh situasi pendidikan yang terjadi pada saat itu, dari kebiasaan lama yang sudah mapan ke dalam bentuk modern akibat pengaruh sistem pendidikan Barat yang diterapkan Hindia Belanda di Indonesia. Didukung dengan KH. Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, menuntut ilmu dan berkecimpung langsung di dalamnya, serta interaksinya saat menuntut ilmu di pesantren-pesantren Jawa dan dengan para ulama di Mekah. Atas dasar pengalamannya, hal ini sangat memengaruhi pola pikir dalam konsep pendidikan Islam yang di antaranya akan dibahas sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan Islam Persepektif KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asyari menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan dan belajar adalah mengamalkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak dan merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah.
KH. Hasyim Asy’ari menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam di samping pemahaman terhadap pengetahuan adalah pembentukan insān Islām kāmil yang penuh pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Tujuan pendidikan ini akan mampu direalisasikan jika siswa mampu terlebih dahulu mendekatkan diri pada Allah SWT dan ketika proses dalam pendidikan berlangsung, dalam diri siswa harus steril dari unsur materialisme, kekayaan, jabatan dan popularitas. Dari sini tampak KH. Hasyim Asy’ari mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Dengan mengedepankan nilai-nilai tersebut, harapannya semua manusia yang dalam melaksanakan dan ikut dalam proses pendidikan selalu menjadi insan purna yang bertujuan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Di samping itu dalam Islam, tujuan pendidikan Islam yang dikembangkan adalah mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan. Pemahaman ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan terhadap pendidikan jasmani, akal, dan ilmu pengetahuan (science). Pendidikan Islam memperhatikan segi pendidikan akhlak seperti memperhatikan segisegi lainnya.
Materi Pendidikan Islam Perspektif KH.Hasyim Asy’ari
Menurut KH. Hasyim Asy’ari materi yang ditawarkan adalah materi-materi yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT yang terangkum dalam ilmu fardu ‘ain. 
Menurutnya materi yang ditawarkan adalah materi-materi yang dapat mendekatkan diri kepada Allah yang terangkum dalam ilmu fardu ‘ain.. yaitu kajian tentang teologi (zat dan sifat-sifat Allah), fiqih, (mengenal syarat dan rukun, mengenal halal haram, yang dapat mengesahkan suatu ibadah) dan tasawuf, (yang berorintasi pada ketenangan hati).”
Menurutnya materi yang didahulukan adalah mengkaji tentang tafsir al-Quran, Hadith, usuluddin, kitab-kitab fiqih madzhab, nahwu, sorof, dan materi yang membahas tentang tasawuf.
Menurut Rifa’i, KH. Hasyim Asy’ari membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan yang tercela dan dilarang. Artinya, ilmu pengetahuan yang tidak diharapkan kegunaannya, baik di dunia dan di akhirat, seperti: ilmu sihir, nujum, ramalan nasib. 
b. Ilmu pengetahuan yang dalam keadaan tertentu menjadi terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela. Artinya ilmu yang sekiranya didalami akan menimbulkan kekacauan pikiran, sehingga dikhawatirkan menimbulkan kufur. Misalnya, ilmu kepercayaan dan kebatinan, ilmu filsafat. 
c. Ilmu pengetahuan yang terpuji, yakni ilmu pelajaranpelajaran agama dan berbagai macam ibadah. Ilmu tersebut dapat menyucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatanperbuatan tercela, membantu mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, mendekatkan diri kepada Allah SWT, mencari rido-Nya dan mempersiapkan dunia untuk kepentingan akhirat.
Pada tahun 1916 KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Madrasah Salafiyah. Madrasah Salafiyah adalah madrasah dengan sistem klasikal yang didirikan di Tebuireng untuk pengajian al-Qur’an. Pada tahun 1926 Madrasah Salafiyah diawasi dan dipimpin KH. Muhammad Ilyas murid dari KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Dengan keterbukaan KH. Hasyim Asy’ari akan pembaruan, memberi keleluasaan kepada KH. Muhammad Ilyas untuk memperkenalkan mata pelajaran umum di pesantren, seperti membaca, menulis latin, ilmu bumi, sejarah, bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Semenjak itu surat kabar berbahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.
Metode Pembelajaran Perspektif KH.Hasyim Asy’ari
Metode pembelajaran KH. Hasyim Asy’ari menggunakan berbagai macam metode  yandisesuaikan dengan kondisi siswa, guru dan materi yang disampaikan. Di antaranya adalah metode hafalan, metode ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab dan metode Tahdzīb wa targhīb. Metode hafalan dengan mentashih terlebih dahulu di hadapan pendidik atau temannya yang diyakini kepintarannya.
Metode ceramah menjadi perhatian KH. Hasyim Asy’ari dengan  ketentuan sebagai berikut:
Menghindari penjelasan yang terlalu panjang sehingga membosankan, sebaliknya juga tidak terlalu ringkas sehingga substansi dari materi tidak tersampaikan.
Tidak terlalu tergesa-gesa dalam menjelaskan sehingga penjelasannya dapat disimak dan dipikirkan oleh siswa.
Apabila materi yang disampaikan lebih dari satu pembahasan, dimulai dengan materi-materi yang penting.
Selain itu juga ia juga banyak meggunakan metode diskusi, Tahdzīb wa targhīb.  (menasihati dan menegur) dengan baik terhadap anak didik yang bandel, metode tanya jawab.
KH. Hasyim Asy’ari membangun suasana dialogis dalam proses pembelajaran. Meskipun demikian, KH. Hasyim Asy’ari menggarisbawahi hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pelajar, yaitu moralitas dan etika dalam menghormati serta menghargai seorang ulama. Apalagi di lingkungan pesantren yang mempunyai gaya tersendiri dalam mendidik para santri. Kyai adalah simbol dari moralitas, yang kedudukannya lebih dari sekadar ulama. Sebab, kyai dianggap tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mengajarkan moralitas. Di sinilah kenapa para santri di pesantren sangat menghargai seorang kyai. 
Pesantren Tebuireng di awal kelahirannya, mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara sorogan dan bandongan dengan bahasa pego sebagai bahasa pengantar, sebagaimana yang diterapkan di Pesantren Gedang. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan melalui jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Seiring perkembangan waktu sistem dan metode pengajaran ditambah dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Jumlah santri yang masuk kelas musyawarah sangat kecil karena seleksinya ketat. Saat itu KH. Hasyim Asy’ari dibantu saudaranya ipar, Kyai Alwi.
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Perspektif KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari memainkan peranan penting dalam memodernisasi Pesantren Tebuireng, hal ini karena kepiawian KH. Hasyim Asy’ari dalam mengelola lembaga pendidikan yang dipimpin. Manajemen lembaga pendidikan Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari haruslah dikelola dengan memperhatikan perkembangan zaman agar lembaga pendidikan dapat menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul.
Ide pembentukan kelas musyawarah sebagaimana yang telah disinggung di atas, merupakan inisiatif KH. Hasyim Asy’ari untuk menutupi kelemahan sistem salaf dalam meningkatkan mutu pesantren.
Sebagaimana diketahui, dalam sistem salaf murni, para santri bebas mengikuti pelajaran dan memilih tingkatan, bahkan bebas pula untuk tidak belajar. Akibatnya, banyak santri yang bertahun-tahun mondok tapi tidak mendapat apa-apa. Sebaliknya, ada santri yang mondok tidak terlalu lama sudah berhasil menjadi kyai karena kesungguhannya dalam belajar. Karena tidak ada faktor yang mengikat dan memotivasi santri, maka KH. Hasyim Asy’ari menyiasati dengan membentuk kelas musyawarah. Hasilnya terbukti efektif, banyak ulama besar yang lahir dari kelas ini di antaranya: Kyai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kyai Abdul Karim (Lirboyo), Kyai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kyai Wahab Hasbullah (Tambakberas), Kyai Bisri Syamsuri (Denanyar), Kyai Bisri Musthofa (Rembang) dan lain-lain.
Pada tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal melalui madrasah. Kepala Madrasah pertama adalah Kyai Ma’shum Ali, menantu KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai pakar ilmu falak dan ilmu s}orof, di antara karyanya adalah al-Durus al-Falākiyah (astronomi), al-amthilatul tas}rīfiyyah (sorof). Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah ini membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifr awal dan sifr thani yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Siswa s}ifr awal dan s} ifr thani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi madrsah lima tahun berikutnya. Kegiatan belajar diadakan di Pondok Pesantren Seblak yang diasuh Kyai Ma’shum Ali.
Jenjang selanjutnya adalah Madrasah Ibtidaiyyah empat tahun, dimulai dari kelas satu sampai kelas empat yang diselenggarakan di Tebuierng. Pelajarannya ditekankan pada penguasaaan kitab-kitab klasik seperti kitab Fath} al-Qarīb (fiqh), serta hafalan nadzam (sajak berbahasa Arab) seperti Alfiyyah Ibnu Malik (nahwu /gramatika Arab). Pada tahun 1919 pelajaran di Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah ditambah dengan Bahasa Indonesia, Matematika dan Geografi yang direstui KH. Hasyim Asy’ari. Terobosan ini menjadikan Pesantren Tebuireng sebagai pelopor pembaruan pendidikan Islam tradisional di tanah air.
Di era selanjutnya, inovasi lembaga pendidikan yang dilakukan oleh KH. Muhammad Ilyas dan KH Abdul Wahid Hasyim semakin berkembang terbukti dengan didirikannya Madrasah Nidzamiyyah tahun 1934, yang lebih banyak mengajarkan pengetahuan umum dari pada pengetahuan agama. Selain mengajarkan bahasa Arab dan bahasa Belanda, Madrasah Nidzamiyyah juga mengajarkan bahasa Inggris dan ketrampilan mengetik. Satu hal yang perlu dicatat, pesatnya perkembangan Tebuireng yang diprakarsai oleh duet KH. Muhammad Ilyas dan KH. Abdul Wahid Hasyim, samasekali tidak memengaruhi sistem pengajian kitab klasik dan musyawarah yang diasuh langsung KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini karena segmen muridnya memang berbeda. Jika madrasah kebanyakan anak usia sekolah, maka peserta kelas musyawarah dan pengajian adalaha para santri senior atau bahkan kyai yang sengaja datang ke Tebuireng untuk mengaji, bukan sekolah.
KH. Hasyim Asy’ari juga mengajarkan para santrinya dengan kemampuan khusus dalam bidang manajemen dan organisasi. Hal ini dilakukan untuk mendorong mereka untuk membentuk organisasi santri berdasarkan asal daerah mereka. Para santri juga diperbolehkan untuk aktif dalam organisasi-organisasi berskala Nasional yang mempunyai cabang di Tebuireng. Hal ini merupakan ajang latihan bagi para santri untuk menjadi pemimpin di masa depan. Terbukti sebagian lulusan pesantren Tebuireng berkecimpung dalam organisasi modern.



Komparasi Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari
Lebih rinci, perbedaan pemikiran pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dalam berbagai dimensi dapat dilihat dalam tabel berikut:
No.
Dimensi pendidikan Islam
Pemikiran Perspektif KH. Ahmad Dahlan
Pemikiran Perspektif KH. Hasyim Asy’ari

1
Tujuan pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam KH.Ahmad Dahlan cenderung pada kontek pendidikan sebagai media mengejar ketertinggalan Islam dalam bidang ekonomi, social dan politik dengan berorientasi pada pendidikan modern
• Konsep tujuan pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan sesuai dengan aliran filsafat pendidikan progressivisme- rekonstruksi

• Tujuan pendidikan Islam KH.Hasyim Asy’ari lebih bersifat metafisik, dan lebih ditekankan pada usaha membimbing kearah pembentukan kepribadian muslim
• Tujuan pendidikan Islam Menurut KH. Hasyim Asy’ari sesuai dengan aliran filsafat pendidikan essensialisme- perennialisme.


2 Materi pendidikan Islam
KH.Ahmad Dahlan menjadikan al-Qur’an dan Hadith sebagai sumber untuk menelaah
keilmuan secara langsung, dan mengkritik materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab klasik.

KH. Hasyim Asy’ari tetap mempertahankan materi-materi keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab klasik


3 Metode Pendidikan Islam
KH. Ahmad Dahlan menganggap metode tradisional yang dipakai pesantren dalam penguasaan suatu kitab klasik dianggap tidak efisien dan efektif karena membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan pemikir yang tidak kritis sehingga metode tradisional ini tidak perlu dikembangkan.
KH. Hasyim Asy’ari tetap menerapkan metode sorogan dan bandongan dalam kelas Musyawarah. Hal ini didasarkan pada keinginan KH. Hasyim Asy’ari untuk menjunjung moralitas dan melestarikan tradisi-tradisi lama dengan tidak gagap pada pembaruan yang muncul.


4 Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
1.KH. Ahmad Dahlan, pengembangan madrasah berada di bawah pengelolaan organisasi Muhammadiyah. Madrasah sebagai garapan amal usaha pendidikan Muhammadiyah
2.Kepemimpinan lembaga berdasarkan pemilihan organisasi.

1.KH. Hasyim Asy’ari, pengembangan madrasah di bawah pengembangan manejemen pesantren yang inovatif sebagai jawaban bagi tantangan zaman yang dihadapi
2 Lembaga dipimpin orang yang berkompeten dengan memperhatikan aspek keturunan




Relevansi Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Pendidikan Islam Kekinian
Dalam menyikapi isu globalisasi, umat Islam terbagi ke dalam tiga kelompok; yaitu yang menerima secara mutlak, menolak sama sekali dan pertengahan, yakni yang menyikapi secara proposional. Perbedaan sikap ini berimplikasi terhadap respon dalam mensikapi model pendidikan di Nusantara. Pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dalam menghadapi globalisasi dunia, melalui pendidikan baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, dengan berbagai metode, cara dan geraknya dapat dicegah pengaruh negatif yang bakal terjadi dari globalisasi. 
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akanpendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya. Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan muslim tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun, pada umumnya bebannya masih sangat terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoretis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberasi, dan humanisasi.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jika umat Islam memiliki karakter mulia, Indonesia telah berhasil membangun karakter bangsanya. Sebaliknya, jika umat Islam Indonesia hanya bangga dalam hal kuantitas tetapi tidak memperhatikan kualitasnya (terutama karakternya), Indonesia telah gagal membangun karakter bangsanya. Konsep character building sudah menjadi kajian tujuan pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari untuk mencapai tujuan Insān kāmil sebagai ‘abd dan khalīfah fī al-ard. Konsep yang telah ada menjadi penting untuk digali dan dikonstruksiasi sebagai dasar dalam rangka membangun karakter bangsa.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari memberi sumbangan besar bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia. Terlepas dari faktorfaktor yang menghambat perkembangan madrasah di Indonesia, Husni Rahim menyimpulkan bahwa madrasah mempunyai peran besar dalam memperkukuh etika dan moral bangsa, di antaranya: Media sosialisasi nilai-nilai ajaran agama, pemeliharaan tradisi keagamaan, membentuk akhlak dan kepribadian, benteng moralitas bangsa dan sebagai lembaga pendidikan alternatif.72 Dalam kaitannya dengan
Dalam kaitannya dengan inovasi pendidikan, maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pada masanya, dengan melakukan upaya-upaya yang dianggap janggal untuk saat itu merupakan sebuah inovasi yang brilian. Di saat lembagalembaga pendidikan di Indonesia berhaluan sekuler, KH. Ahmad Dahlan membuat lembaga madrasah yang mengintegrasikan antara ilmu profan dan ilmu agama. Di saat pesantren hanya memakai metode sorogan dan bandongan, KH. Hasyim Asy’ari memunculkan ide kelas musyawarah dari majlis halaqah menjadi kelas-kelas sebagaimana kelas gubernemen. Maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari merupakan sebuah upaya pembaruan dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan situasi pada masa-masa berikutnya.
Simpulan
Tujuan pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari memiliki persamaan, di antaranya adalah sebagai berikut: a). Pendidikan Islam diharapkan mampu mencetak manusia-manusia (insan) yang memiliki kapasitas keahlian sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan kemampuan untuk mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. b). Pendidikan Islam diharapkan berorientasi kepada kebutuhan masa depan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai keagamaan atau nilai-nilai yang sudah diajarkan oleh Islam agar mendapatkan kebahagian dunia akhirat. c). Pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran kembali bahwa segala sesuatu akan kembali pada sang pencipta.
Adapun perbedaan. tujuan pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari bila dilihat dari kacamata aliran filsafat pendidikan, tujuan pendidikan KH. Ahmad Dahlan dapat dikategorikan sebagai aliran progressivisme-rekonstruksi sosial, sedangkan tujuan pendidikan KH. Hasyim Asy’ari merupakan tujuan pendidikan dalam kategori essensialisme-perennialisme.
Persamaan materi pendidikan Islam perspektif KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut; a). Ilmu agama adalah ilmu yang wajib dipelajari tiap Muslim. b). Ilmu profan merupakan ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai upaya untuk membekali diri terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. c). Mengintegrasikan aspek nilai-nilai agama dan pengetahuan umum, iman dan kemajuan teknologi, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya.
Adapun perbedaan materi pendidikan Islam adalah: KH. Ahmad Dahlan menjadikan al-Qur’an dan Hadith sebagai sumber untuk menelaah keilmuan secara langsung dan mengkritik materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Menurut KH. Ahmad Dahlan pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya pada madzhab Syafi’imelahirkan pemikir yang “pemamah” yang tak mampu mengolah secara kritis ilmu pengetahuan yang diperolehnya, sehingga mereka kurang bisa berkompetisi secara produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian. Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari, menurutnya kitab-kitab klasik yang merupakan karya para mujtahid terdahulu dianggap masih perlu dikaji dan ditelaah sebagai bahan referensi dan pengayaan materi. 
Persamaan konsep metode pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dapat disimpulkan adalah keduanya menggunakan metode yang bervariasi dalam proses pembelajaran yang disesuaikan dengan materi dan kondisi siswa. Adapun perbedaannya, KH. Ahmad Dahlan menganggap metode tradisional yang dipakai pesantren dalam penguasaan suatu kitab klasik dianggap tidak efisien dan efektif karena membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan pemikir yang tidak kritis sehingga metode tradisional ini tidak perlu dikembangkan. Berbeda dengan KH. Hasyim Asy’ari, walaupun ia menggunakan metode yang bervariasi dengan menerapakan sistem klasikal di madrasah yang didirikannya di Pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari tetap mempertahankan metode sorogan dan bandongan dalam kelas Musyawarah.


Daftar Pustaka
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun
Nasution. Bandung: Mizan, 1995.
Taufiq, Akhmad. M Dimyati Huda. Binti Maunah. Sejarah Pemikiran dan
Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Safwan, Mardanas. Sutrisno Kutoyo. KH. Akhmad Dahlan, Riwayat Hidup
dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Fiba, Dasar Pemikiran KH.Ahmad Dahlan http://lppbi-fiba.blogspot.
com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html, diakses
tanggal 15 Juni 2012.
Masnun. “Organisasi Sosial dan Pendidikan Islam Muhammadiyah”,
dalam Abudin Nata (ed). Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2001.
Ramayulis. Syamsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia. Ciputat; Quantum
Teaching, 2005.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.
Ali, Mukti. Alam Pikiran Modern di Indonesia Indonesia. Jakarta: Jajasan
Nida, 1971.
Kamal Pasha, Musthafa. dkk. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid.
Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.
Asy’ari, Hasyim. Etika Pendidikan Islam. Yogyakarta: Titian Wacana, 2007.
 Adab al-‘Alīm wa al-Muta’allim fī mā Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fī
Ahwal Ta’līmihi wa ma Yatawaqqafu ‘alayhi al-Mu’allim fī Maqāmati
Ta’līmihi. Jombang: Maktabah At Turas Al Islami, tt.
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas, 2010.
Yasin, Mubarok. Peny, Fathurrahman Karyadi. Profil Pesantren Tebuireng.
Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011.
Kurniawan, Syamsul. Mahrus, Erwin. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam. Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
Nata, Abudin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa, 2003.
Ismail, Faisal. Masa Depan Pendidikan Islam di Tengah Kompleksitas Tantangan
Modernitas. Jakarta: Bhakti Aksara Persada, 2003.
Marzuki. “Prinsip Dasar Pendidikan Karakter Perspektif Islam”, dalam
Darmiyati Zuchdi (ed). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan
Praktik. Yogyakarta: UNY Press, 2011.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2001.

Artikel Sejarah Pendidikan Islam "WALI SONGO DAN ISLAMISASI JAWA PERSPEKTIF PENDIDIKAN"

WALI SONGO DAN ISLAMISASI  JAWA
 PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Hafid Ghozali
2021115213, Sejarah Pendidikan Islam, Kelas B Pendidikan Agama Islam

Abstrak
Islam masuk ke Nusantara sekitar abad pertama tahun hijriyah atau pada sekitar abad ke 7 M di wilayah yang sekarang bernama Barus, daerah Medan, Sumatera Utara. Di tanah Jawa proses Islamisasi terjadi setelah ditemukannya makam di wilayah Gresik yaitu Fatimah binti Maimun. Berdirinya kerajaan Islam di Demak Jawa Tengah pada abad ke 15 (tahun 1475M ) merupakan puncak kejayaan Islam di tanah Jawa, khususnya di Jawa Tengah, karena didukung oleh para  kharismatik yang dikenal sebagai Wali Songo. Ada model-model syiar wali songo, 1.  dilakukan Sunan Giri di Gresik yaitu dengan proses pendekatan struktural, karena sebagai ulama/da’i dia juga sekaligus sebagai penguasa  tanah giri ( Raja Giri ) yang secara langsung dapat menekan terjadinya puritanisasi adat istiadat / budaya yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Model 2 , yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, yaitu dengan pendekatan kultural, karena dia berada diluar kekuasaan, sehingga syiar atau dakwahnya justru melalui simpul-simpul budaya yang ada / dakwah melalui nguri-nguri kebudayaan.

Kata Kunci : Wali, Songo, Islamisasi, Pendidikan.

Pendahuluan
Terjadinya proses Islamisasi di tanah Jawa perkembangannya tidak terlepas dari peran para cendekiawan ulama kharismatik yang dikenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan, mereka adalah : Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat dan Sunan Muria. Islamisasi secara faktual di Jawa ditandai dengan adanya kerajaan islam pertama di Demak (kerajaan demak), dan didukung penuh oleh aktivitas dakwah  para wali dan kemudian diperkuat dengan lahirnya pondok pesantren yang didirikan oleh wali songo tersebut.
Dalam penulisan ini pembahasan tentang awal masuknya  Islam di tanah Jawa           (Indonesia), peran dakwah para wali , ajaran mereka, dan jasa mereka dalam menciptakan  pendidikan islam.
Dan untuk  menelusuri  sejarah  pendidikan kreatif  yang  dilakukan  Walisongo, khususnya  dalam  menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan, hingga berhasil mendidik masyarakat Jawa dengan mengislamkan mereka dalam waktu yang relatif singkat,  tanpa kekerasan. Melalui pencarian data pustaka dan menggunakan analisis  deskriptif  dengan  kesimpulan induktif,  didapatkan  hasil bahwa Walisongo mendidik masyarakat Jawa menggunakan instrumen yang  disukai masyarakat,  seperti  pertunjukan  wayang, menggubah tembang-tembang  macapat, dan  melalui  pendekatan  budaya  yang berkembang di masyarakat.

PEMBAHASAN

Masuknya Islam di Indonesia
Para ahli berbeda-beda pendapat mengenai tentang kapan persis masuknya Islam ke Indonesia. Ada beberapa teori yang di jadikan pedoman oleh para ahli sejarah tentang bagaimana Islam itu masuk ke Indonesia dan kapan waktunya islam itu masuk ke indonesia ini.
Ketika Marcopolo bersama ayah dan pamannya dalam perjalanan Muhibbah atas utusan dari raja Kubilai Khan pada tahun 1292 melewati daerah timur laut Sumatra, diketahui bahwa waktu itu sudah terdapat orang Islam di daerah Perlak, sebelah timur Banda Aceh. Berita tentang Muhibbah ini Marcopolo  tidak menutup kemungkinan bahwa pada abad-abad sebelum itu sudah terdapat penganut agama Islam di Nusantara yang lebih dulu ada.
Menurut pendapat para ahli sejarah, Islam masuk ke tanah Jawa melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat jazirah Melayu, yaitu disebut Malaka. Dalam kurun waktu abad ke 14, ketika kekuasaan kerajaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai berkurang, maka bagian barat dari jalur perdagangan yang melalui kepulauan Nusantara berhasil diambil alih oleh negara tersebut. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Dalam kurun waktu abad ke 13 mereka membawa agama Islam, mula-mula ke pantai timur Banda Aceh, kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang jalur dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia Timur, dan juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau jawa. Dengan demikian agam Islam tiba dari Malaka dalam kurun waktu abad ke 14, bahkan sangat mungkin sudah lebih awal.
Di antara para ahli sejarah ada yang menyatakan, bahwa Islam masuk di Indonesia sejak abad pertama Hijriyah (abad VII – VIII M)dan menurut para ahli aaran agama islam itu langsung dari negara Arab, sebagaimana kesimpulan dari “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” yang diadakan di Medan pada tahun 1963 Yang memberitakan, bahwa utusan-utusan Khalifah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan, pada tahun 52 Hijriyah telah sampai ke hulu sungai Jambi di Sumatra Tengah. Khalifah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan pernah mengirim surat ke Ratu Sima di Kalingga Jepara. Isi surat tersebut adalah selain urusan perdagangan juga urusan dakwah Islamiyah. Maka pada tahun 99 H. atau baru 86 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW Sri Maharaja Serindrawarman di Sriwijaya Jambi memeluk agama Islam. Inilah Raja Islam yang pertama di Indonesia. Kemudian pada akhir-akhir abad I Hijriyah, telah masuk Islam pula seorang raja di Jepara yang bernama Ratu Sima tersebut. Seorang Khalifah Bani Umayyah, bernama Umar bin Abdul Aziz, yang berkuasa pada tahun 99 – 101 H. diberitakan pernah berkoresponden dengan Maha Raja Jambi dan Ratu Sima itu. Kumpulan dari surat-surat itu, masih tersimpan baik di Granada Spanyol, sampai sekarang
Terlepas dari itu semua, memang besar sekali dugaan bahwa sebelum abad ke 11 M. agama Islam sudah masuk di pulau Jawa. Hal ini disebabkan, bahwa pada saat itu telah banyak pedagang-pedagang muslim dating berdagang sambil mengembangkan agama Islam di tanah Jawa. Dugaan ini dikuatkan oleh penemuan sebuah makam dari seorang wanita Islam yang bernama Fatimah binti Maimun, yang wafat pada tahun 475 H. bertepatan tahun 1082 M. dan dimakamkan di Gresik. Karenanya dapat diduga pula bahwa pada zaman Airlangga (th. 1019-1042 M) sudah ada pedagang muslim yang mengunjungi atau singgah di tanah Jawa.Bahkan dalam permulaan abad ke 13 M. yaitu zaman Kertajaya dari Kediri, agama Islam sudah tersiar luas di kalangan rakyat, hanya belum menjadi perhatian ahli sejarah, oleh Karena raja-rajanya masih tetap beragama Hindu atau Budha. Dengan perkataan lain, bahwa ketika itu agama Islam baru dikenal dan dipeluk oleh rakyat bawah dan belum masuk di kalangan raja maupun para bangsawan lainnya.
Pada masa itu (abad ke 13 M) , penduduk tanah Jawa umumnya masih memeluk agama Hindu dan Budha. Kemudian dengan datangnya agam baru, yaitu Islam, dari agama Hindu dan Budha ke agama Islam. Hal ini menurut S.Soebardi, antara lain, “Karena Islam adalah suatu agama yang mempunyai upacara atau ritus sederhana meletakkan tekanan yang kuat pada masyarakat, serta karena syarat penerimaan masuk Islam juga sangat mudah”. Di samping itu, karena Islam juga tidak membedakan antara golongan bangsawan dan rakyat jelata, sementara agama mereka yang lama masih mengenal kasta-kasta.
Begitulah agama Islam tersiar dan berkembang pesat di Indonesia, khusunya di tanah Jawa. Maka apabila berita Portugis menyatakan bahwa pada tahun1498 M. beberapa kabupaten di pesisir Jawa utara sudah masuk Islam, berarti rakyat sampai buatinya sudah menjadi orang Islam. Ini dikuatkan dengan adanya seorang muballigh Islam yang telah berjasa menyiarkan.
Islam di tanah Jawa, yang wafat pada tanggal 12 Rabi‟ul Awa lth. 822 Hijriyah,bertepatan tanggal 8 April 1419 M. dan dimakamkan si Gresik, yaitu Maulana Malik Ibrahim.
Meski ada dua pendapat yang berbeda tentang awal masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, seperti dalam uraian di atas, namun keduanya dapat dikompromikan sebagai berikut:
Kemungkinan besar bahwa Islam telah masuk di Indonesia khususnya di pulau Jawa pada abad pertama hijriyah (abad VII M), namun pada masa itu Islam masih belum dikenal dan dipeluk oleh masyarakat pribumi. Asumsi ini berdasar pada dua buah catatan penting orang Tionghoa yang menyatakan, bahwa pada zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan (th. 62 H) serta semasa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (th. 62 H), sudah ada orang Islam (dari Arab) yang dating ke tanah Jawa.
Abad XII – XIII M. adalah merupakan abad pesatnya perkembangan islam di Indonesia/di Jawa. Karena ketika tahun 1258 M. Baghdad jatuh ke tangan Tartar dari Mongol, sehingga jalur perdagangannya pun pindah dari Baghdad ke Gujarat. Dalam pada itu banyak orang sufi (anggota terikat dari Baghdad) melarikan diri sambil berdagang dan berdakwah sampai di Indonesia, dan inilah antara lain yang membuat pesatnya perkembangan Islam pada masa itu.
Penyebaran Islam di Bumi Nusantara ini tidak dilakukan dengan kekerasan, teteapi dengan cara damai melalui kegiatan dakwah yang disponsori para muballigh dan saudagar-saudagar muslim. Proses Islamisasinya tahap demi tahap berjalan terus secara pasti, apalagi setelah munculnya beberapa muballigh terkenal yang disebut Wali Songo, dan setelah berdirinya kerajaan Islam di Demak Jawa Tengah.

Peran Dakwah Wali Songo
Penyiar-penyiar agama islam yang pertama, menurut sejarah keyakinan orang di Jawa adalah orang-orang keramat, yang memunyai pengetahuan yang dalam, dan di samping itu memiliki keistimewaan yang berwujud kekuatan gaib; orang keramat itu disebut “wali”. Kata Wali berasal dari Bahasa arab, yang berarti “orang yang dipelihara ole allah dari berbuat maksiat Seorang wali mendapat ilham yang berupa cahaya yang menyinari jiwanya yang memiliki kekuatan luar biasa yang disebut keramat.
Wali-wali yang terkenal sebagai penyiar agama islam yang pertama di Jawa, jumlahnya ada sembilan dan terkenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka itu adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat dan Sunan Muria. Sampai sekarang masih terdapat kepercayaan yang kuat di kalangan orang Jawa, bahkan islam yang sebenarnya ialah islam yang disiarkan oleh sembilan Wali itu. Para wali menjadi tokoh-tokoh legendaris dalam masyarakat islam Jawa. Berkenaan dengan taktik berdakwah, ada dua aliran di kalangan wali tersebut, yaitu aliran Sunan Giri dan aliran Sunan Kalijaga. Abu Zahrah menulis :

“..... aliran yang dipelopori sunan Giri sangat ideal dan berpendapat bahwa umat harus disuruh menjalankan agama yang lurus menurut asalnya. Adat istiadat rakyat yang tidak sesuai dengan agama harus diberantas, terutama adat istiadat atau kebiasaan agama Hindu-Budha. Sebaliknya, aliran Sunan Kalijaga berpendapat bahwa rakyat akan lari bila terus begitu saja dihantam pendiriannya... Da‟wah harus diselaraskan dengan kepercayaan lama. Adapun cara merubahnya dengan sedikit demi sedikit, memberi warna baru pada yang lama dan mengikuti sambil mempengaruhi .”

Besar dugaan bahwa pelaksanaan da‟wah, terutama di Jawa Tengah, banyak menggunakanan taktik Sunan Kalijaga yang juga didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Dikalangan masyarakat Jawa Sunan Kalijaga memang tidak hanya dikenal sebagai penyebar islam seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, tetapi dia terkenal juga sebagai pembaharu wayang ( satu kesenian Jawa tradisional yang berisi konsep asli penyembahan roh nenek moyang barcampur dengan tradisi hindu ) untuk medium penyebaran agama islam. Sunan Kalijsga dengan taktik da‟wahnya yang komunikatif itu, adalah seorang wali yang amat berperan dalam mempercepat laju islamisasi di daerah pedalaman Jawa, pada sekitar abad XV M.
Uraian diatas menunjukkan, bahwa setelah islam dibawa masuk ke tnah Jawa oleh para pedagang dan muballigh baik dari Gujarat, Persia, Arab maupun dari Malaka sendiri, maka sejak sekitar abad XIV dan XV M. Proses islamisasi sangat ditentukan dan diwarnai oleh Wali Songo  yang merupakan tokoh-tokoh penyebar islam waktu itu. Karenanya untuk mengetahui corak keislaman yang berkembang di Jawa, sangat relevan bila wejangan wali Songo dapat diketahui meski secara garis besarnya.

Wejangan atau Ajaran Wali Songo
Widji Saksono ( dalam tulisannya di majalah Ihya „Ulumiddin yang berjudul “ Islam Menurut Wejangan Wali Songo “ ) menyimpulkan bahwa :

“sesungguhnya dari Wali Songo itu hanya dari Sunan Bonang sajalah yang sampai sekarang diketahui ajarannya mu‟tamad, dapat dipegangi keasliannya dari beliau 

Oleh sebab itu, untuk mengetahui wejangan Wali Songo cukup mengetahui ajaran Sunan Bonang. Adapun alasan yang dikemukakan, antara lain :
Sunan Bonanglah instansi resmi dari Wali Songo yang paling berwewenang untuk memberikan penerangan-penerangan di bidang ilmiah pada umumnya dan diniyyah khususnya beliaulah semacam mufti di soal-soal agama.
Sunan Bonanglah murid dan putera Sunan Ampel, bersama Sunan Drajat. Dari alasan ini dapatlah sedikit banyak ajaran Sunan Bonang mewakili ajaran Sunan Ampel dan Sunan Drajat.
Sunan Bonang adalah juga sealmamater, seperguruan dengan Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati, dalam hal sama-sama berguru dari Maulana Ishak di Pasai … Sunan Bonang konon adalah juga guru pertama dari Sunan Kalijaga ….
Lebih lanjut Widji Saksono menyimpulkan, bahwa ajaran Sunan Bonang meliputi tiga pokok ilmu agama : Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Tasawuf, yang tersusun secara tertib menurut sistematika yang rapi. Kemudian maraji‟ utama yang dipakai Sunan Bonang ialah kitab Ihya „Ulumiddin karya Imam al Ghazali, dan kitab Tamhid fi Bayan al-Tauhid wa Hidayati Likulli Mustarsyid wa al-Rasyid karya Abu syakur al-Salami. Para wali itu termasuk golongan Ahlussunnah wal jama‟ah. Diantara sekian banyak wali, ada seorang yang termasuk ahli bid‟ah yaitu Syekh Siti Jenar. Sementara Sunan Kalijaga yang oleh masyarakat dikenal sebagai menitik beratkan mistik, ternyata, dari berita Babad tak melupakan syari‟at. Bahkan syari‟at dijadikan syarat mutlak bagi orang yang hendak melakukan tarekat.
Berikut ini penulis cantumkan sebagian dari wejanga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga :

“ …. Tegesing ma‟rifatu dzatillah : kawroeha ananing pangeran kang maha loehoer jen tunggal tan kakalih sasifatira sadja langgeng kekal maha soetji tan bastoedjisim tanpa arah tan keno kaitung tan awor ano eksmatan sinoeksma .”

Arti ma‟rifatu dzatillah : Ketahuilah bahwasannya keadaan tuhan Yang Maha Luhur itu betul-betul Esa bukan dua, sifat-sifatNya semata-mata kekal abadi, Maha Suci tak berjasad badan, tanpa arah tak berbilang tak tercampur tiada manjing ( merasuk ) sebagai sukma juga tiada dirasuki oleh sukma ( jiwa ). Di bawah ini wejangan Sunan Kalijaga kepada Pandan Arang :

“Djeng Soesoenan angling aris … Manira aneda jekti, patang prakara katahnya, njibadaha saklaminem klawan angadegna iman, ngeslamna wong semarang, ngingoe santri lan kaoem, kerjaha bedoeg langgar. Dene ingkang kaping kalih dika djakat klawan lila, wadjibe kang donja akeh .“

Jeng Sunan Kalijaga berkata lembut :… kalau dikau hendak berguru padaku, wahai Pandan Arang! Aku minta tanda bukti empat perkara : beribadahlah selama hidupmu seraya siarkan iman, da‟wahlah mengislamkan penduduk Semarang, pelihara santri dan kaum untuk berjama‟ah shalat, panggil mereka dengan bedug berkumpul di langgar. Kedua kalinya, zakatlah dengan ikhlas dan ridha, itulah kewajiban bagi si kaya.

Uraian serta kutipan di atas, minimal telah memberikan gambaran sekilas tentang corak keislaman yang disampaikan Wali Songo, yakni praktek kesilaman yang meliputi syari‟at, sufisme dan konsepteologi, seperti yang ditawarkan Imam al Ghazali. Namun tidak menutup kemungkinan, jika pada perkembangan selanjutnya ada yang lebih dominan dari ketiga aspek itu, sesuai dengan kemampuan dakwah dalam meningkatkan kadar keislaman masyarakat yang semula adalah para pemeluk agama Hindu dan Budha.

Wali Songo dan Pendidikan (Pesantren)
Satu lembaga pendidikan yang diselenggarakan sejak awal perkembangan islam di Jawa, serta mempunyai peranan penting terhadap proses islamisasi di Jawad an umumnya di Indonesia, ialah lembaga-lembaga pendidikan yang di Jawa terkenal dengan nama “ Pesantren “. Menarik diketahui bahwa kata pesantren yang terdiri dari kata asal “ santri “ mendapat awalan “ pe “ dan akhirnya “ an “ menentukan tempat, jadi berate “ tempat para santri “. Secara sederhana pesantren adalah tempat pendidikan para santri. Sedang pondok adalah tempat tinggal santri. Karena pada umumnya pesantren menyediakan tempat tinggal para santri. Maka terkenallah dengan sebutan “ Pondok Pesantren “. Santri adalah orang dewasa atau remaja yang belajar ilmu-ilmu keislaman dibawah pimpinan atau asuhan seorang guru yang disebut Kyai.
Pesantren sebagai pusat pengajaran agama islam telah terdapat pada masa awal penyebaran agama islam di Jawa, terutama pada abad XIV dan XV Masehi. Syekh Maulana Malik Ibrahim ( salah seorang Wali Songo yang wafat pada tahun 1419 M ) dalam usahanya menyebarluaskan islam telah pula membuka pesantren dan mendirikan masjid di Gresik. Usaha Syekh Maulana Malik Ibrahim itu kemudian di ikuti pula oleh para Wali yang lain, di antaranya ialah Sunan Giri. Karena pengaruh Sunan Giri yang demikian luas hingga pesantrennya (Pesantren Giri) menjadi amat terkenal dan di datangi oleh santri dari berbagai daerah di Jawa, bahkan juga dari daerah lain seperti Madura, Lombok Makassar, Pulau Hitu dan Ternate.
Bermula dari beberapa pesantren yang didirikan para Wali Songo itu, akhirnya tahap demi tahap jumlahnya semakin banyak serta tersebar di berbagai pelosok daerah Jawa, bersamaan dengan semakin banyaknya penduduk yang memeluk agama islam. Dari pesantren itu lahirlah suatu lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman islam yang relatif utuh dan lurus. Memang pada tahap-tahap pertama lembaga pesantren lebih memfokuskan perhatiannya pada upaya pemantapan iman dengan latihan-latihan ketarikatan daripada menjadikan dirinya sebagai pusat pendalaman islam sebagai ilmu. Dalam pada itu S. Soebardji menulis :

… bahwa pada permulaannya islam pesantren masih kuat dipengaruhi oleh unsur mistik Jawa dan nilai-nilai agama pra islam. Baru kira-kira permulaan abad XIX M pendidikan pesantren mampu melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh yang bersifat mistis dan animistis yang bersumber pada tradisi pra islam.

Keadaan seperti itu diantara sebabnya adalah : “ karena literatur keislaman karya ulama-ulama terkemuka, di Jawa ketika itu sangat langka adanya, atau bahkan tidak ada.” Ditambah lagi karena pada kedua abad pertama penjajahan belanda, telah dicanangkan suatu politik yang mempersulit terselenggaranya kontak antara umat islam di Jawa dengan umat islam di negeri-negeri lain, terutama Timur Tengah. Namun demikian diakui, bahwa dalam masa yang cukup lama, pesantren telah mampu meneruskan dan memelihara inti-inti kepercayaan islam yaitu rukun iman dan rukun islam.  Dan tampaknya, justru melalui pelayanan praktek-praktek ketarekatan tersebut, pesantren ketika itu mampu menyerap banyak pengikut yang inheren menambah cepatnya proses islamisasi di Jawa.
Pada permulaan abad XIX M., ketika kontak langsung mulai terbuka antara umat islam di Indonesia dengan dunia islam lainnya, termasuk Timur Tengah, baik melalui jama‟ah haji maupun melalui pemuda yang belajar di Makkah dan Mesir, maka sejak itulah terjadi peningkatan peran pesantren yang tidak hanya memfokuskan pada upaya pemantapan iman dengan latihan-latihan ketarekatan saja. Sehubungan dengan peran pesantren itu, Zamakhsyari Dhofir mengutip pernyataan A. H. Johns, sebagai berikut :

“ Lembaga-lembaga pesantren itulah yang menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran islam sampai ke pelosok pelosok… untuk dapat betul-betul memahami sejarah islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran islam di wilayah ini. 

Makna Wali Songo
Wali dan manusia adalah dua entitas yang berbeda. Untuk bisa kearah itu diperlukan  penyadaran bahwa wali-wali adalah sosok yang memili ki kelebihan, karena kedekatannya  dengan Allah SWT. Wali dapat menjadi wasilah atau p erantara yang menghubungkan antara  manusia dengan Allah. Untuk dapat menjadi wasilah tentu harus memiliki atau memenuhi persyaratan kedekatan dan kesucian atau menjadi ora ng suci.
Kedekatan tersebut diperoleh melalui upaya-upaya individual yang dilakukan seseorang  dalam berhubungan dengan Allah lewat dzikir atau wi rid dan  riyadha yang sistematis dan terstruktur.  Melalui  kedekatan  ( taqarrub )  akan  memunculkan  aura  yang  disebut  dengan  kesucian. Dengan demikian kesucian adalah level kedua yang diperoleh seseorang setelah level pertama dipenuhi, dan lewat kesucian wasilah  dapat dimaknai.
Wali  memiliki  kekuatan  supranatural  dan  manusia  biasa  hanya  memiliki  kekuatan natural.  Agar  sampai  kepada  kesadaran  diperlukan  pe nyadaran  yang  dibarengi  dengan penguatan-penguatan kelebihan dalil-dalil dan nash-nash yang memberikan rujuan kepada Nabi Muhammad SAW.

Pendidikan Menyenangkan Wali Songo
Pendidikan menyenangkan melalui tembang atau seni lagu 
Dengan  keperdulian  yang  tinggi  terhadap  santrinya/ murid nya Walisongo  memahami    bahwa  pendidikan  agama  dan kemanusiaan  yang  diajarkan  kepada  masyarakat  akan  berhasil untuk mendidik masyarakat jika  dilakukan  dengan  menyenangkan.  Salah  satu  bukti bahwa sebuah keniatan walisongo  dalam  menyelenggarakan  pendidikan yang  dirasa menyenangkan  adalah  adanya  tradisi  penciptaan  tembang  atau lagu yang  pada  waktu  itu  sangat  disukai  oleh  masyarakat.  Menurut  Agus Sunyoto, hampir semua tokoh Walisongo berperan dalam  penciptaan tembang (kecuali Sunan Ampel dan Sunan Gresik). Misalnya saja, Sunan Giri, dianggap sebagai pencipta tembangtembang cilik (sekar alit) jenis Asmaradhana dan Pucung; Sunan Kalijaga  dianggap  sebagai  pencipta  tembang-tembang  cilik (sekar alit) jenis Durma; Sunan Kudus dianggap sebagai pencipta  tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Maskumambang dan Mijil; Sunan Drajat dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jeis Pangkur; Sunan Muria dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi.
Kreatifitas syiar dan pendidikan sosial walisongo terlihat  dari berbagai bentuk upaya yang dilakukan agar nilai-nilai islam  yang  diajarkan  dapat  menyenangkan,  sehingga  diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Hal ini terlihat dari buah karya mereka  berupa  tembang  macapat,  lagu-lagu  pujian  keagamaan, lagu  dolanan,  dan  bentuk-bentuk  permainan  untuk  anak-anak dan remaja.
Tembang macapat yang sudah dikenal luas oleh masyarakat dimodifikasi atau di setting ulang  dan  dimasukkan  nilai-nilai  Islam  oleh  walisongo.
Diantara tembang  macapat yang dirilis walisongo tersebut adalah  gambuh,  sinom,  mijil, bapak pucung  dan  dandang  gula.  Selain  itu,  walisongo juga  menciptakan  lagu-lagu  pujian  keagamaan  untuk  segmen masyarakat umum seperti ilir – ilir, lingsir wengi dan lain-lain
Untuk  segmen  anak-anak  dan  remaja,  walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan seperti jublak-jublak suweng, jamuran, Jelungan,  Gendi  Ferit,  Jor,  Gula  Ganti,.  Selain  itu,  walisongo  juga menciptakan model permainan (dolanan) untuk anak-anak dan remaja, seperti jitungan dantrempolo kendang. Permainan tersebut seringkali dimainkan dengan menyanyikan lagu dolanan.
Dengan kreatif, walisongo sengaja memainkan lagu-lagu dan  permainan  ciptaannya  tersebut  di  sekitar  masjid,  sehingga mendekatkan  remaja  dan  anak-anak  pada  kegiatan  masjid. 
Lagu-lagu  dolanan,  tembang-tembang  macapat  dan  berbagai  permainan  karya  walisongo  tersebut  dirancang  secara  filosofis, sehingga memiliki muatan nilai-nilai pendidikan. Sehingga, ketika tembang  tersebut  dinyanyikan,  atau  permainan  itu  dimainkan, tanpa  disadari,  nilai-nilai  pendidikan  Islam  merasuk  pada  jiwa masyarakat  dan  anak-anak.  Sebuah  model  pembelajaran  yang efektif dan menyenangkan sebagai buah kreatifitas yang dilakukan oleh walisongo.
Pilihan para wali untuk memanfaatkan lagu sebagai sarana pendidikan yang menyenangkan memang terbukti sangat efektif. Hampir semua orang dari berbagai kalangan dan usia menyenangi lagu. Lagu-lagu karangan para wali diantaranya bahkan ada yang masih  populer  hingga  sekarang.  Seperti  lagu  ilir-ilir  dan gundulgundul  pacul.  Lagu  gundul-gundul  pacul dapat  dikatakan  sebagai lagu  yang  sangat  merakyat.  Hampir  semua  masyarakat  Jawa mengenal lagu ini. Selain dinyanyikan dengan nada ceria, lagu ini juga mengandung nasehat bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Syair  lagu  gundul-gundul  pacul  tersebut  adalah  sebagai berikut:

Gundhul gundhul pacul cul,
Gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul,
Gembelengan
Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
“Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul
Geleng-geleng
Membawa bakul
Geleng-geleng
Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan
Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan

Menurut Lusia, fungsi yang terdapat pada tembang gundulgundu  pacul  adalah  fungsi  pendidikan.  Yaitu  menggambarkan  seorang  anak  yang  gundul,  nakal,  bandel,  angkuh  dan  tidak bertanggung  jawab.  Dia  tidak  dapat  membeda-bedakan  hal-hal yang  baik  dan  buruk.  Dia  beranggapan  bahwa  dirinya  adalah orang yang paling benar, paling bisa dan paling pintar, sehingga dia  bersikap gembelengan,  yakni  sombong  dan  tak  tahu  diri.
Apabila  dipercaya  untuk  memegang  amanah  yang  menyangkut kehidupan orang banyak, dia tetap bersikap tidak peduli. Akibat dari kesombongan dan keangkuhannya itu, maka kesejahteraan dan keadilan yang semestinya didapatkan, jadi hancur berantakan. Syair  tembang  tersebut  mengandung  nilai  pendidikan  agar manusia tidak boleh sombong. Sebagaimana dicontohkan pada makna lagu tersebut, orang yang sombong, angkuh dan ceroboh akan membawa pada kehancuran dan kegagalan. Karenanya, jika kita menjadi seorang pemimpin yang diberi amanah dan tanggung jawab agar mampu mengemban amanah tersebut sebaik-baiknya, sehingga mewujud pada kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat


SIMPULAN
Meskipun ada pendapat yang mengutarakan bahwa Islam masuk ke Jawa / Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke 7 M, namun proses Islamisasi secara masif terjadi setelah berdirinya kerajaan Islam di Demak Jawa Tengah pada abad 15 ( tahun 1475M ), dan didukung oleh para da‟i kharismatik yang dikenal sebagai Wali Songo. Ada dua model da‟wah wali songo, pertama dilakukan Sunan Giri di Gresik yakni dengan pendekatan struktural, karena sebagai da‟i dia juga sekaligus sebagai penguasa ( Raja Giri ) yang otomatis dapat menekan terjadinya puritanisasi atas adat istiadat / budaya yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Model kedua, yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, yakni dengan pendekatan kultural, karena dia berada diluar kekuasaan, sehingga da‟wahnya justru melalui simpul-simpul budaya yang ada pada saat itu.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abbas, Siradjuddin. 1972. Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i. Jakarta: Pustaka Tarbiyah 
Arnold, Thomas W. 1979. The Preaching of Islam, terj. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaja
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3S
Djaja, Tamar. 1965. Pustaka Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
Hamka. 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Natsir. M. 1969. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang
Salam, Solihin. 1964. Sedjarah Islam di Djawa. Jakarta: Djajar Murni
Sunyoto, Agus. 2011. Walisongo; Rekonstruksi Sejarah yang disingkirkan. Jakarta: Transpustaka
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS
Yusuf, Slamet Effendy, et.al. 1983. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: CV. Rajawali

Jurnal
Risalah Masuknya Islam ke Indonesia, Panitia Seminar, Medan, 1963
S. Soebardi, “Islam di Indonesia” Prisma No. Ekstra. 1978
Saksono, Widji. “Islam Menurut Wejangan Wali Songo”  Jurnal Ihya Ulumiddin No.8, Pebruari 1971
Suparjo. “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo Dalam Me bangun Masyarakat Muslim Indonesia”. Jurnal Dakwah dan Komunikasi (Komunika) Vol. 2 No. 2 Juli – Desember 2008
Yunita. Lusia Selly. “Bentuk dan Fungsi Simbolis Tembang Dolanan  Jawa”. Jurnal NOSIVol. 2, No.5, Agustus 2014
Zahrah, Abu. Demak sebagai Pusat Penyebaran Islam di Jawa “, Studia Islamika, No.2, Oktober-Desember 1976

Wawancara
Wawancara dengan Al Uztad Mustofa Dimyati Ponpes Bardan Wasalaman Sambong Batang, pada tanggal 28 Maret 2018